Kampus merupakan miniatur negara.
Tempat Mahasiswa berekspresi dan beradu gagasan tentang segala lini kehidupan.
Mulai dari kesadaran akademis hingga kesadaran sosial wajib dimiliki oleh
setiap Mahasiswa. Dinamika kampus pun tak ubahnya dengan dinamika negara,
sehingga Mahasiswa dituntut sadar akan hal itu. Mampukah mahasiswa mengakomodir
hal-hal tersebut? Lalu bagaimana penerapannya?
Semenjak saya masuk kedalam Kampus, saya menganggap kehidupan kampus juga tidak terlebih dari unsur kepentingan. Pertarungan ideologi mulai terlihat semenjak saya masuk kampus. Tarik-menarik setiap organ terasa begitu kuat bak berbagai magnet yang menarik sebuah besi. Siapa yang hisapannya lebih kuat, maka besi itu akan lengket ke salah satu magnet tersebut. Dinamika tersebut memang terlihat terlalu didramatisir, tapi itulah kenyataannya. Alih-alih menawarkan sifat Idealis, berbagai organ justru menawarkan hal-hal yang berbau kesenang-senangan dan Pragmatisme, hal itulah yang sebenarnya dapat menjadi penyebab maraknya kaum atau mahasiswa Oportunis, yang lebih jauh nya akan menyebabkan tumbuhnya “Koruptorisme” dalam tubuh mahasiswa. Seolah tak perduli, organ-organ tersebut berdalih demi sebuah kuantitas, sampai mengenyampingkan kualitas. Alasannya, semakin banyak mahasiswa yang bisa mereka rekrut, semakin besar peluang mereka memenangkan PEMIRA (PEMILIHAN RAYA). Jika hal tersebut kita biarkan mendarah daging dalam tubuh mahasiswa, maka tak ubahnya kita dengan birokrat dan pemimpin yang brengsek diluaran sana. Penulis tidak mempermasalahkan Pemira-nya, tetapi bagaimana proses pemira itu yang menjadi sorotan. Karena politik kampus memang merupakan hal yang dibutuhkan oleh mahasiswa, dari situlah mahasiswa belajar praktik politik untuk diaplikasikan kelak saat sudah keluar dari status Mahasiswa.
Baca : The Lazarus Effect
Pemilihan raya didalam kampus seyogyanya untuk mengakomodir kepentingan seluruh mahasiswa, Namun jika kita melihat fakta lapangan, sering terdapat koalisi-koalisi yang dibangun oleh kelompokkelompok yang mengikuti ajang pemira tersebut. Jika kita melihat dari perspektif psikologi, koalisi-koalisi tersebut dibangun atas dasar ketakutan akan kekalahan masing-masing kelompok yang mengikuti pemira. Penulis berpendapat bahwasannya ketakutan-ketakutan tersebut sinonim dengan kerakusan terhadap kekuasaan yang artinya mereka hanya mengedepankan kepentingan kelompoknya, barangtentu tidak ada kepentingan seluruh mahasiswa yang mereka bawa.
Memang sudah menjadi rahasia umum bahwasannya koalisi dalam perpolitikan
merupakan strategi untuk memperoleh kemenangan, tapi pernakah anda berfikir
bahwasannya koalisi tersebut tidak terbentuk begitu saja? Catat, ada proses
lobby dibawah meja disitu. Pembagian “kue-kue” pun disepakati disitu. Masih
yakinkah anda pembicaraan tersebut membawa kepentingan seluruh Mahasiswa? Semua
saya kembalikan ke anda, tidak ada paksaan dalam tulisan ini, toh ini juga Cuma
sekedar opini yang diambil dari segi empiris saya selaku penulis.
Penulis
berpendapat, dalam ajang politik kampus tidak perlu kiranya membangun
koalisi-koalisi karena berpotensi menjadi “mandulnya” kepengurusan ketika
terjadi konflik internal didalam tubuh Pemerintahan Mahasiswa. Akan terjadi
deadlock yang berkepanjangan didalam kepengurusan. Dan dapat dipastikan
Pemerintahan Mahasiswa tidak akan fokus mengakomodir kepentingan Mahasiswa,
melainkan sibuk mengakomodir kepentingan kelompoknya didalam tubuh pemerintahan
mahasiswa. Hal-hal yang berpotensi melucuti kepentingan bersama itulah yang
harus kita hindari.
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI

0 Comments
BIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR