PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MUTILASI YANG MENGIDAP GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA




Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa pada Bab 1 Pasal 1 menjelaskan pengertian mengenai penyakit kejiwaan terbagi menjadi dua yaitu Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). skizofrenia termasuk dalam pengertian ODGJ seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Skizofrenia adalah kelainan psikiatrik kronis, termasuk gangguan mental yang sangat berat (Muser & Gingerich dalam Petty Juniarty dan Sriningsih, 2012:1).

Mahmud Abbasi dan Alireza Khosravi J. dalam penelitiannya yang berjudul Schizophrenia and it’s Criminal Liability from Point of Iran’s Law, penderita skizofrenia dapat berbuat jahat karena pengaruh imajinasi mereka. ODGJ pada hakikatnya tetap diakui sebagai subjek hukum, dimana subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yang konsekuensinya dapat menuntut atau dituntut subyek hukum lain di muka pengadilan. Ketika ODGJ melakukan suatu tindak pidana, untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana tersebut maka ODGJ haruslah memiliki kemampuan bertanggungjawab. Hakim dalam putusannya mempertimbangkan secara yuridis apakah dari hasil pemeriksaan dipersidangan perbuatan Pupun Bin Sanusi telah memenuhi atau tidak unsur-unsur dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum yaitu “dengan sengaja merampas nyawa orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP.

Unsur-unsur Pasal 338 KUHP adalah “unsur barang siapa” dan “unsur dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain. Adapun unsur-unsur Pasal 338 KUHP pada kasus Pupun Bin Sanusi:\

1. Unsur barang siapa; Barang siapa adalah siapapun orangnya sebagai subyek hukum pelaku dari tindak pidana yang didakwakan. Berdasarkan Berita Acara Penyidikan di Kepolisian yang berkaitan erat dengan surat dakwaan Penuntut Umum yang keseluruhan menunjuk pada diri “Terdakwa” sebagai pelaku tindak pidana, lebih lanjut dalam pemeriksaan di persidangan dengan memperhatikan identitas terdakwa, maka yang didakwa sebagai pelaku dalam perkara aquo adalah seseorang yang bernama “Pupun Bin Sanusi”.

2. Unsur dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain; Kesengajaan adalah adanya kehendak, keinginan, niat yang muncul dari dalam batin/diri si pelaku untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dan terhadap perbuatan tersebut diinsyafi oleh pelaku akan segala akibat yang akan ditimbulkan nantinya. menghilangkan jiwa orang lain adalah membuat lenyapnya, membuat supaya hilang nyawa seseorang (manusia) sehingga menyebabkan telah terpisahnya antara nyawa dan raga Berdasarkan bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor: 30/II/RSUD/2014 tanggal 22 Desember 2013 yang dikeluarkan oleh RSUD Kabupaten Cianjur yang dibuat oleh dr. Fahmi Hakim, SpF Dokter Spesialis Forensik yang menyimpulkan “pada mayat perempuan berumur kurang lebih enam puluh tahun ini ditemukan luka terbuka pada daerah leher, lengan atas, lengan bawah, tungkai bawah, pergelangan tangan serta kepala akibat kekerasan tajam dan kekerasan tersebut juga mengakibatkan terputusnya pembuluh nadi dan pembuluh darah balik utama, otot, tulang dan sumsum tulang pada daerah leher, lengan atas, lengan bawah, tungkai bawah, pergelangan tangan serta terpotongnya sebagian otak besar. Sebab mati orang ini akibat kekerasan tajam pada daerah leher yang mengakibatkan terputusnya pembuluh nadi dan pembuluh balik utama daerah leher serta sumsum tulang belakang daerah leher. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan juga dikuatkan pula dengan bukti surat berupa Visum et Repertum bahwa benar terdakwa telah membunuh ibunya pada hari Rabu tanggal 18 Desember 2013 sekira pukul 03.45 WIB yang bertempat dirumah terdakwa sendiri yaitu di Kampung Pasir Gombong Desa Sukamaju Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur.

Hakim berpendapat bahwa oleh karena semua unsur dari dakwaan diatas telah terbukti dan terpenuhi oleh perbutan terdakwa Pupun Bin Sanusia, maka dengan demikian Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan”. Seseorang yang menderita skizofrenia yang sengaja merampas nyawa orang lain dapat dipidana berdasarkan Pasal 338 KUHP. Akan tetapi perlu diingat bahwa dalam hukum pidana ada yang disebut dengan alasan penghapus pidana. Alasan atau dasar penghapus pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh KUHP, tidak dihukum, karena :

1. Orangnya tidak dapat dipersalahkan;

2. Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum. Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf: 1. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 48 (keadaan darurat), Pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), Pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan Pasal 51 ayat (1) (perintah jabatan). 2. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), Pasal 49 ayat (2) (bela paksa lampau atau noodweer exces), Pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai Pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf. Skizofrenia lebih mengarah kepada alasan pemaaf, yang berhubungan dengan keadaan si pelaku.

Mengenai alasan pemaaf dapat dilihat dari bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP: “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.” Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pada dasarnya setiap tindak pidana kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh setiap orang, baik yang memiliki gangguan kejiwaan atau tidak, dapat dikenakan hukuman dengan pertimbangan-pertimbangan yang meringankan bagi tersangka/terdakwa, yaitu karena keadaan tersangka yang tidak mampu bertanggungjawab, namun pertimbangan tersebut harus didasarkan pada keterangan saksi ahli yang dituangkan dalam visum et repertum. Visum et Repertum adalah hasil pemeriksaan medis yang dilakukan oleh seorang dokter atau sebuah tim dokter dan ditujukan untuk kepentingan peradilan sebagai sarana pembuktian. Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor 144/Pid.B/2014/PN.Cj menyatakan terdakwa Pupun Bin Sanusi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana “Pembunuhan”, akan tetapi Hakim menjatuhkan putusan untuk melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk menempatkan terdakwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat untuk menjalani perawatan selama 3 (tiga) bulan. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor 144/Pid.B/2014/PN.Cj alasan Hakim menjatuhkan putusan tersebut karena perlu dipertimbangkan lebih lanjut mengenai seberapa pantas dan adil pidana yang dijatuhkan mengingat bahwa suatu pemidanaan harus pula memperhatikan keadaan psikologis terdakwa pada saat melakukan perbuatannya tersebut.

Oleh karena itu Hakim harus mencari dan menemukan alasan-alasan yang masuk akal dan dapat diterima sehingga akan diperoleh suatu ukuran pemidanaan yang betul-betul mencerminkan rasa keadilan baik bagi masyarakat maupun bagi terdakwa. Sebagai ukuran untuk menemukan seberapa pantas dan adil pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Hakim dalam putusannya mempertimbangkan faktor psikologis dan kejiwaan dari pelaku, Pasal 44 KUHP, ketidakmampuan bertanggungjawab menurut MVT, dokrin hukum pidana berkaitan dengan peniadaan kesalahan (straf-opheffings-gronden atau schuld uitsluitingsgronden), hubungan jiwa si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan, bukti-bukti, dan pendapat ahli. Berdasarkan keterangan saksi bahwa terdakwa mengalami gangguan jiwa sejak dia pulang dari Kalimantan Tengah, setiap kali penyakitnya kambuh terdakwa selalu dalam ketakutan dan menyebutnyebut orang yang dianggap musuhnya yang bernama “Edi sedang mengawasinya”. Keterangan dari saksi tersebut diatas telah diperkuat dengan adanya pendapat ahli yaitu Dr. Susi Wijayanti, SpKj (psikiater di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Jawa Barat). Ahli berpendapat bahwa terdakwa mengalami gangguanpsikotik berupa skizofrenia jenis Paranoid dengan gejala waham kejar, waham kebesaran dan halusinasi yang telah berlangsung satu tahun atau lebih. Pendapat ahli tersebut telah dikuatkan juga dengan pendapat dari ahli M. Liberty Adi, S.MM., M.Psi dan Dra. Resmi Prasetyani, Psi. Maka fakta berkaitan dengan keadaan jiwa Pupun Bin Sanusi adalah benar bahwa ia mengidap gangguan jiwa yang bernama skizofrenia jenis Paranoid. Berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab, Moeljatno dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” menjelaskan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada (Moeljatno, 2008:178):

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Jadi ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang perbuatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.

Faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan mana yang tidak (Moeljatno, 2008:179). Mengenai faktor akal dan faktor kehendak pada penderita skizofrenia, dalam hal ini perlu diperhatikan gejala penderita skizofrenia yaitu gejala primer dan gejala sekunder (diakses dari http:// psikologi.or.id/psikologi-kognitif/skizofrenia.htm, pada 11 Maret 2018 Pukul 20:00 WIB): 1. Gejala primer berupa gangguan proses pikiran (bentuk, langkah dan isi pikiran), gangguan afek dan emosi, gangguan kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan tidak dapat mengambil tindakan dalam suatu keputusan. 2. Gejala sekunder berupa waham (delusi) dan halusinasi. Waham yang diderita penderita skizofrenik sering tidak logis dan bizar. Tetapi penderita tidak memahami hal tersebut dan menganggap bahwa wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun. Sedangkan halusinasi timbul tanpa ada penurunan kesadaran. Halusinasi yang paling sering pada penderita skizofrenia adalah halusinasi pendengaran, halusinasi penciuman, halausinasi cita rasa.

Ketidakmampuan untuk mengambil keputusan karena terganggunya proses berpikir serta munculnya waham dan halusinasi, artinya pengidap skizofrenia tidak mampu dipertanggungjawabkan karena dalam diri pembuat adanya gangguan mental yang menyebabkan tidak bekerjanya akal secara normal sehingga pembuat tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan. Namun demikian hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat atau tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa. Dalam kasus ini Hakim memiliki keraguan atas kemampuan bertanggungjawab Pupun Bin Sanusi karena Pupun Bin Sanusi merupakan seorang penderita gangguan jiwa kategori skizofrenia jenis Paranoid sehingga hakim membutuhkan keyakinan untuk menetapkan kemampuan bertanggungjawab Pupun Bin Sanusi, keyakinan hakim tersebut haruslah didukung oleh alat bukti.

 Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah dapat diperoleh dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Alat bukti keterangan ahli kejiwaan atau psikologi diperlukan untuk menerangkan mengenai mengenai kondisi mental terdakwa. Seorang ahli hanya berhak mengatakan mengenai keadaan jiwa terdakwa pada saat melakukan tindak pidana adapun yang menetapkan adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa tersebut dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa adalah hakim. Hal ini dikarenakan sistem yang dipakai KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang adalah “Deskriptif normatif”.

Deskriptif maksudnya adalah menggambarkan keadaan jiwa pelaku menurut apa adanya oleh seorang ahli. Normatif, maksudnya adalah hakimlah yang menilai berdasarkan hasil pemeriksaan tadi, tentang mampu atau tidak mampunya terdakwa dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam kasus ini terdapat 3 (tiga) orang ahli kejiwaan yang memeriksa kondisi kejiwaan terdakwa, semua ahli kejiwaan tersebut diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Keterangan ahli pertama dan kedua pada intinya menyatakan bahwa terdakwa mengalami gangguan kejiwaan kategori skizofrenia jenis Paranoid dengan gejala waham kejar, waham kebesaran dan halusinasi.

Sedangkah keterangan ahli ketiga pada intinya menyatakan bahwa terdakwa memiliki tingkat kecerdasan yang berada pada taraf  dibawah rata-rata yaitu grade IV (skala PM 16) dan kurang mampu untuk menilai situasi. Selain dari pendapat ahli tersebut telah pula dikuatkan dengan hasil Visum et Repertum Psychiatricum Nomor: 30/ II/RSUD/2014 tanggal 28 Januari 2014 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Susi Wijayanti, SpKJ selaku Psikater pada Rumah Sakit Jiwa Propinsi Jawa Barat, setelah dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa dan berkesimpulan bahwa pada saat terjadi tindak pidana subyek dalam keadaan mempunyai ketidakmampuan mengarahkan kemauan yang sadar. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang ahli lakukan terhadap terdakwa, maka ahli berpendapat/menyarankan supaya terdakwa dimasukan ke Rumah sakit Jiwa untuk dirujuk ke psikiater guna mendapatkan perawatan atas gangguan kejiwaan yang dialaminya

BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI

Belajar Ilmu Hukum Disini

Post a Comment

0 Comments

Iklan