Ditulis Oleh: Irawan Santoso Shiddiq
Rasionalitas. Ini jadi masalah peradaban modern. Modern, maknanya kekinian. Bukan semata kemajuan. Kata modern, dianggap sebagai antitesa dari tradisionalis. Tradisional, dikategorikan sebagai “kampungan”. Ini mindset yang dikembangkan, pasca merebaknya modernitas, sejak abad 18 lalu. Tapi modernitas ini kemudian menjadi wabah bencana buat manusia.
Karena modernitas berarti manusia berpijak pada rasional semata. Hanya bersandar pada logika. Bahasa Yunani kuno menyebutnya “logike”. Terhadap “being”, hanya diterjemahkan dengan “logika”. Dan itulah yang disebut dengan filsafat.
Filosof, menyebut akal merupakan jiwa. Socrates mengatakan, akal itulah belahan jiwa. Dari sanalah dianggap sumber “kebenaran.” Buah dari penyingkapan akal. Plato menyebutnya itu sebagai “idea”. Aristoteles mengatakannya dengan “substansi”. Karena, filosof menganggap “Kebenaran” itu telah diletakkan. Manusia, dengan akalnya, bertugas untuk menyingkapnya. Penyingkapan dari akal (rasionalitas) itulah yang seolah melahirkan sebuah ‘Kebenaran.’
Masa mutazilah, ini fase ketika filsafat “di-Islam-kan”. Melahirkan ‘al mutazili’ yang kesohor. Anak kandung filsafat itulah saintisme. Segala sesuatunya menjadi ‘teknikal’ (saintifik). Rasio membuat manusia berpikir statis, bukan dimanis. Al Farabi kemudian membuat saintifisme dalam melihat Islam. Tentu pandangan mutazilah, buah dari merebaknya paham ‘jabariyya’, yang juga menyimpangkan aqidah. Ibnu Sina membuktikan ‘kebenaran’ saintifik dalam dunia kedokteran. Pembedahan lahiriah manusia, dengan metode rasional. Dan itu bisa membuahkan pengobatan. Dari sanalah sumbangsih besar dalam kedokteran, hingga sekarang.
Tapi masa mutazilah, “kebenaran” ala akal ini menjadi masalah. Terutama dalam hal aqidah. Karena mutazilah berujung pada tragedi al mihnah. Al Quran dianggap sebagai ‘makhluk.’ Ini yang dianggap bertentangan dengan Tauhid. Karena rasionalisasi dalam segala hal. Termasuk bagaimana mendudukkan Tuhan, Al Quran dan manusia, kesemuanya hanya bersandar pada basis akal semata.
Ulama membendung. Imam Asyari, mantan mutazilah, menganggap ‘kebenaran’ ala rasio itu bermasalah. Karena menyimpangkan dalam hal aqidah. Di sanalah Imam Asyari membentengi umat. Sifat 20, minimal harus dipahami. Ini merupakan domain Allah Subhanahuwataala, tanpa bisa didudukkan dengan rasionalitas belaka. Terjadilah pertempuran hebat para “al mutazili” dan muhaditsun, sufi, sampai mutakallimun. Imam Ghazali mengeluarkan ‘Tahafut al Falasifah’. Penyimpangan filsafat. Karena Imam Ghazali menegaskan, “Akal tak sepenuhnya benar, akal bisa saja salah.” Karena penyingkapan ala akal, terkadang dipengaruhi juga oleh nafsu manusia. Disitulah hasil “penyingkapan” akal terkadang menghasilan subjektifitas ala manusia sendiri. Dan ketika hasil penyingkapan akal itu bertentangan dengan naqli, malah para filosof menganggap kebenaran ala akal yang layak dipegang. Disinilah permasalahan. Al Farabi telah menegaskan. Menurutnya, emanasi merupakan kebenaran ganda. Kebenaran ala filsafat dan kebenaran ala Wahyu. Filosof, katanya, bisa disejajarkan dengan Nabi. Perihal dalam menemukan realitas ‘kebeneran.’ Filosof, ujarnya, menemukan ‘kebenaran’ dengan akalnya. Sementara Nabi, menemukan ‘Kebenaran’ dengan bimbingan Wahyu. Alhasil terjadilah dikotomi. Dan ketika ‘kebenaran’ buah penyingkapan akal bertentangan dengan Wahyu, filosof tetap mempertahankan diri. Maka, ulama pun mencegat penyimpangan para filosof itu. Karena filsafat mendudukkan ‘qudrah dan iradah’ merupakan domain manusia. Bukan domain Tuhan.
Fase mutazilah pun lewat. Imam Ghazali sampai Maulana Shaykh Abdalqadir al Jilani menggaungkan lagi tassawuf. Dari sinilah jalur pemahaman ‘Kebenaran’ tak mungkin keliru. Bukan berbasis pada akal semata. Melainkan dengan merujuk ‘qalbu’ (hati). Shaykh Abdalqadir al Jilani mendudukkan dengan terang, dimana posisi qalbu, akal dan nafsu syahwati. Ini merupakan anatomi batin manusia. Karena manusia terdiri dari dzahir wal bathin. Bathin, bukan semata berisikan akal. Karena Socrates mengajarkan, batin itu hanyalah akal semata. tak ada penjabaran tentang qalbu.
Imam Ghazali mendudukkan, ketika kertas membakar api, itu sejatinya bukan “perbuatan manusia”. Melainkan tetap merupakan ‘Perbuatan Tuhan.’ Karena Allah Subhanahuwataala, menciptakan seluruh dunia dan isinya. Penciptaan atas suatu benda, berikut dengan sifat-sifatnya. Api tentu sifatnya membakar terhadap materi. Tapi tak semua materi bisa terbakar oleh api. Misalnya besi. Dan besi, sebagai bagian dari ciptaan Allah juga, diciptakaan berikut dengan sifat-sifat besi. Demikian pula dengan kertas. Ketika manusia menbakar kertas, maka itu bukanlah buah “penyingkapan” akal manusia. Sehingga hal itu dianggap sebagai buah kemampuan manusia. Melainkan tetap dalam kerangka domain Qudrah dan Iradah Allah Subhanahuwataala. Karena Tuhan menciptakan kertas, api dan lainnya itu, berikut dengan sifat-sifatnya. Terbakarnya kertas oleh api, bukan sebab manusia mampu membuat kertas itu terbakar oleh api. Karena dalam api terkandung sifat-sifat api. Dan dalam kertas, Allah juga telah menciptakan berikut dengan sifatg-sifat benda itu. Jadi dalam pandangan filosof, yang membuat kertas itu terbakar, buah dari penyingkapan akal, yang merupakan domainnya manusia. Disinilah yang menjadi masalah, menurut Imam Ghazali.
Kemudian kisah berpindah. Karena filsafat kemudian berpindah. Setelah mandeg dalam Islam, tassawuf kembali menggema. Dari sana peradaban Islam bangkit kembali. Masa mutazilah menjangkiti Islam, memang sains meninggi. Tapi keruntuhan terjadi. Hilangnya Andalusia, sampai takluknya Khalifah Al Mutashim Billah di Baghdad oleh Mongol, tentu buah dari merebaknya paham mutazilah. Hingga kehilangan Al Quds, sebelum direbut kembali oleh Sultan Salahuddin al Ayyubi dan para kaum sufi. Mereka bukanlah produk dari mutazilah.
Filsafat pun menyeberang ke Eropa. Thomas Aquinas mengutip ajaran Ibnu Rusyd, Al Farabi sampai Ibnu Sina. Emanasi dihidupkan di Eropa. Karena di sana mereka melawan ‘kebenaran’ ala Geraja Roma. Kebenaran ala Gereja mendominasi. Itu yang disebut dogma. Aquinas menerbitkan buku ‘Tweez Warden Theorie”, kebenaran dua belah pedang. Kebenaran ala filsafat dan kebenaran ala dogma. Aquinas dengan berani, memasukkan filsafat untuk dikunyah kaum Eropa. Dan itu disambut hangat. Karena dogma dianggap telah jauh meninggalkan rasionalitas. Tak masuk akal. Makanya mereka kemudian asyik memburu kebenaran ala akal. Filsafat pun diminati. Rennaisance pun terjadi. Berpikir kembali. Artinya, berfilsafat kembali.
Perang filsafat dan dogma pun menggema di Eropa. Tapi tak sedahsyat perang antara mutazilah dan ahlul Sunnah waljamaah dalam Islam. Karena filsafat dan dogma, kemudian berpuncak tajam. Copernicus, Galileo hingga Bruno merupakan bentuk “kekalahan” filsafat. Tapi ketika serangan internal dari sisi aqidah Nasrani menggeliat, dari Luthern hingga Calvin, disitulah filsafat makin diminati. Kebenaran akal pun makin dicari.
Tapi dogma makin tak diminati, karena masa itu dunia Nasrani berada dalam ambang ‘kegelapan.’ Mereka bukan pengendali dunia. Al Quds dikuasai Islam. Mamluk hingga Utsmaniyya membuat Islam berjaya. Dunia dalam genggaman Islam. Itu pasca abad pertengahan. Tentu fase kejayaan Islam itu, pasca mutazilah. Setelah umat terbebas dari virus filsafat. Kembali pada aqidah ahlul Sunnah waljamaah. Ibnu Khaldun menjelaskannya rinci. Islam mendudukkan bagai Naqli berada di atas aqli (akal). Bukan Naqli sejajar dengan aqli. Teori emanasi Al Farabi, kaum mutazilah, mendudukkan aqli seolah sejajar dengan Naqli.
Rennaisance mencoba menerapkan itu. Aqli dianggap sejajar dengan Naqli. Akal dianggap setara dengan Kebenaran ala Gereja. Tapi benteng Gereja Roma tak sekuat ahlul Sunnah waljamaah, dalam membentengi serbuan filsafat.
Hingga kemudian muncul Rene Descartes. Teorinya “Cogito ergo sum”. Bahwa kebenaran itu adalah “Aku berpikir maka Aku ada (being)”. Descartes membalik teori Francis Bacon, “Aku Ada (being) maka Aku Berpikir (thingking)”. Tapi inti dari kesemuanya itu, filsafat menjadi acuan tunggal. Tak ada lagi kebenaran ala Naqli. Inilah yang disebut era modernitas.
Dari Descartes, teori ‘Kebenaran’ pun tergeser. Manusia seolah dianggap sebagai subjek yang mengamati. Bukan objek yang diamati. Tak ada lagi ‘kebenaran’ ala Naqli. Melainkan hanya berpatok pada ‘Kebenaran’ ala aqli semata. Filsafat, kata Descartes, adalah ketika Tuhan, manusia, alam semesta dan lainnya merupakan objek penelitian akal manusia. Disinilah “kebenaran” akal menjadi mendominasi. Dan mengeliminasi kebenaran Naqli.
Sandaran ‘kebenaran’ ala akal melanda ranah kekuasaan sampai soal keuangan. Segala hal menjadi mengacu pada akal semata. kekuasaan pun demikian. Masa dogma, kaum Eropa dipaksa untuk tunduk pada “Vox Rei Vox Dei”. Suara Raja Suara Tuhan. Raja-raja monarkhi, dianggap sebagai perwakilan Tuhan. Sementara masa itu ‘Eropa springs’ tengah terjadi. Ketiranian raja menjadi-jadi. Hingga Magna Charta, abad 13 di kerajaan Inggris, mampu menggeser ‘kebenaran’ dogma. Benarkah raja merupakan wakil Tuhan? Ketika Raja John membuat pernyataan perdamaian pada 25 baron, para Kesatria penegak virtue (futtuwa) di Inggris, disitulah dogma mulai tergeser.
Machiavelli pun merasionalisasi tentang kekuasaan. Muncullah ‘Il Principe’. Kekuasaan haruslah bersifat stabil. Alenia pertama kitab ‘Il Principe’ itu memunculkan kata “statum”. Bahasa Latin dari ‘stabil.’ Ini yang diterjemahkan dalam English menjadi “state”, Belanda “staat”, Perancis “L’etat’. Dan diterjemaghkan menjadi ‘negara’, oleh entah siapa. Dan ini yang mempengaruhi hingga kini. Tentu hanya buah dari rasionalitas belaka.
Motesquei menyambut. Bahwa kekuasaan haruslah saling kontrol. Tak bisa sekedar “the king can do no wrong’. Maka dia menelorkan rasionalisasi terhadap check and balances system. Kekuasaan haruslah saling kontrol, dan itu harus dibawah kendlai manusia. Bukan Tuhnan. Controling itu merupakan domain Tuhan. Dari Montesquei-lah kemudian menggema eksekutif, legislatif, yudikatif, sebagai wadah untuk saling kontrol terhadap kekuasaan. Dogma pun makin melemah. Vox Rei vox Dei makin tergerus.
Akal makin mendominasi. Naqli makin ditinggalkan. Sementara belantara Islam makin berjaya, masa ketika Eropa masih sibuk bertarung antara kebenaran aqli atau Naqli. Karena tassawuf yang menjadi sandaran. Bukan lagi filsafat.
Klimaks dari perang ‘aqidah’ aqli dan naqli di Eropa berujung pada revolusi Perancis, 1789. Ini seabad setelah kemenangan penganut filsafat. Aqli. Kaum Gereja dan Raja dieliminasi. Para borjuis mengambil alih. Robbiespiere, penggerak utama revolusi, mengacu tunggal pada teori Rosseau. Trentang kontrak sosial. Bahwa kekuasaan, dari Rosseau kita memahami, merupakan qudrah dan iradah manusia. Bukan Tuhan. Makanya manusia yang berhak membuat hukum. Aturan. Ini sebagai simbolisasi atas ‘kebenaran.’ Rosseau melahirkan teori ‘kontrak sosial’ yang harus dituangkan bersama sebagai aturan. Itulah konstitusi. Maka, revolusi Perancis melahirkan ‘state’ dengan konstitusi. Tapi tak sekedar itu. dibalik teori ‘state’, buah rasionalitas manusia, muncul sekelibat pengtur lainnya. Karena ‘modern state’ tak lahir dari merebaknya ‘kebenaran akal’ semata. melainkan sosok pengatur keuangan, yang mereka kemudian mengatur Raja dan Presiden. Merekalah para elit bankir. Konglomerat. Bankir ini memunculkan bank sentral. Bank sentral ini sebagai penguasa tunggal terhadap uang. Uang, pun menjadi korban rasionalisasi akal. Emas dan perak, dirasionalisasi hingga menjadi kertas. Karena dianggap sah, jika telah disahkan oleh aturan bersama, kontrak sosial tadi. Maka yang terjadi adalah akal-akalan. Bukan lagi kebenaran akal. Melainkan kebenaran akal-akalan. Bank sentral dalam pondasi modern state itulah buah dari akal-akalan. Tak lagi patuh pada ‘kebenaran’ sebagaimana dimaksud Socrates sampai Aristoteles.
Bankir yang mengangkat Raja William di Inggris. Kemudian mereka mendapuk Napoleon sebagai Kaisar produk revolusi. Dan menjadi Tsar Rusia dengan sekehendak hatinya. Sampai menjatuhkan Sultan Abdulaziz I, dengan tanzimat (reformasi)-nya. Inilah musibah besar di Daulah Utsmaniyya, tahun 1840. Karena kemudian bankir, yang berpondasikan pada nafsu syahwati, bukan lagi akal, menguasai dunia. Karena dari bankir, akal bisa ditaklukkan. Kebenaran akal bisa dikendalikan.
Dari sanalah musibah kemudian membahana. Descartes meluncurkan ‘cogito ergo sum’. Immanuel Kant melengkapi dengan empirisme. Hingga Marx meluncurkan “segala sesuatunya adalah materi”. Tak adalah kebenaran naqli. Dan ini melanda umat Islam. Tiga tokoh memasukkan kembali modernitas, untuk “diislamisasi’. Merekalah Jalaluddin al Afghani, Rasyid Ridho dan Abduh. Disitulah kemudian muncul yang disebut ‘modernis Islam’. Ini lebih ironis dibanding masa mutazilah. Karena dulu, mutazilah meletakkan aqli sejajar dengan naqli. Sementara modernis Islam, sejak abad 18 itu, mendudukkan aqli berada di atas naqli. Bukan lagi sejajar. Al Quran dianggap konstitusi. Naudzubillah. Bank diislamisasi. Uang kertas, dicari alibi, hingga kemudian Hadist dan tafsir, diperalat untuk melegitimasi ‘akal-akalan’ ala modernisme. Disinilah bencana melanda umat Islam. Mutazilah, Islam hanya kehilangan Andalusia, Al Quds dan kehilangan Khalifah selama 3 tahun saja. Tapi semenjak paham modernis Islam merebak, umat kehilangan seluruh negeri-negeri muslim. Berada di bawah kendali kuffar. Karena tassawuf dimusuhi, dianggap bidah, yang padahal disanalah kekuatan Islam berasal.
Karena modernitas, buah dari kebenaran tunggal akal, hanya melahirkan “teknikal state”. Negara yang menjadi mesin. Manusia distatistik seperti mesin. Karena manusia disamakan dengan “badan hukum”. Manusia didudukkan dalam mekanisme sains, yang membuat kesemuanya bisa disistematisasi. Ini yang disebut Goethe sebagai bencana. “Mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem, karena alam adalah musim,” katanya. Goethe melancarkan ketidaksetujuan dengan filsafat yang melanda modernitas.
Dari Goethe, lahirlah Nietszche. “Filsafat adalah berhala,” katanya. Sementara Martin Heidegger kemudian menyambutnya, “Akal tak bisa dijadikan panduan untuk memahami Kebenaran, karena akal bisa dibuat memadai dan tidak memadai.” Heidegger ini seolah memahami kalimat Imam Ghazali, kisaran seribu tahun sebelumnya. Imam Ghazali telah mewanti, “Akal bisa saja salah.” Dan itulah yang terjadi di era post modernisme kini. Akal berada dalam kendali nafsu syahwati. Bukan dalam kendali qalbu. Tassawuf mengajarkan bagaimana akal harus ditundukkan dalam qalbu. Termasuk nafsu syahwati. Hingga menjadi jiwa yang tenang. Tassawuf tentu tak mengajarkan “segala sesuatunya adalah materi.” Melainkan bentuk pengajaran Kebenaran sejati yang hakiki. Disinilah kunci untuk memahami Kebenaran. Sementara filsafat membaliknya. Kebenaran, kata filsafat, merupakan buah rasionalitas penyingkapan akal semata. tanpa lagi memandang kebenaran ala aqli.
Alhasil, manusia tunduk pada mekanisme statistik. Saintifik. Segala sesuatunya harus bersifat saintifik. Dan inilah menjadi “kebenaran tunggal” masa modernitas. Dari sanalah Nietszche tegas mengatakan, “Filsafat adalah berhala.” Karena akal manusia, memunculkan produk hasil rasionalisasi. Itulah modern state, konstitusi sampai bank sentral, yang merupakan bentuk penyimpangan dari akal. Bukan lagi lahir dari akal budi, sebagaimana Socrates mengajarkan.
Masa modernitas inilah ‘kebenaran’ akal ditunggangi oleh nafsyu syahwati. Akal mudah disimpangkan. Alhasil syahwati sebagai pengendali. Lembaga peradilan, due process of law, tak lagi merujuk pada kebenaran akal. Melainkan telah berubah menjadi pelampias nafsu syahwati. Peradilan ala rasio, mulai law making process hingga law enforcement, hanya menjadi pemuas syahwati sekelompok elit pemegang kekuasaan. Makanya peradilan, tak lagi menjadi ajang menemukan ‘kebenaran materil,’ sebagaimana teori awal peradilan ala rasio. Melainkan kini berubah “mencari kemenangan materil.’ karena hanya beranjak dari syahwati. Bukan lagi akal semata.
Dari sinilah Kebenaran sejati dirindukan. Dan Kebenaran itu hanya bersandar pada tassawuf. Karena tassawuf mengajarkan bagaimana falisitas untuk meraih dan menggapai ‘Kebenaran’ Naqli itu, dan menempatkan aqli pada tempatnya.
Seperti kata Heidegger, "Filsafat telah mati."
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI
0 Comments
BIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR