Ditulis Oleh: Irawan Santoso Shiddiq
Apa itu hukum? Inilah dianggap sebagai Kebenaran. Sejak dulu, Kebenaran ini berasal dari dua jenis: rasio atau Wahyu. Socrates membaginya pada dua bidang: hukum rasio (reason law) dan hukum alam (natural law). Masa Athena kuno, Socrates diadili. Karena dia memberi ajaran filsafat pada generasi muda. Socrates membedah bagaimana mencari ‘Kebenaran’ dari akal semata. kebenaran ala rasionalitas. Dari sanalah muasal ‘moralitas’. Buah dari penyaringan akal pada ‘being’. Socrates menyebutnya sebagai akal budi. Dari sanalah Kebenaran, menurutnya, bisa tertoreh. Buah dari penyingkapan ‘akal budi’, yang melahirkan morality. Penyingkapan ini yang masa Yunani kuno disebut 'aletheia’. Penyingkapan akal pada ‘being’. Plato, muridnya, meneruskannya dengan menyebut sebagai ‘idea’. Aristoteles mengatakannya dengan “substansi”. Karena filosof menyakini, segala sesuatunya, Kebenaran, telah tersedia. Akal berfungsi untuk menyingkapnya, menyibaknya. Maka, hasil penyelidikan akal, dianggap itulah sebagai “kebenaran.” Dan itulah hukum rasio.
Karena Plato mengajarkan, susunan anatomi jiwa manusia, terdiri dari akal—kehendak—nafsu. Akal itulah kepala. Rasio dianggap sebagai raja-nya. Kehendak berada di dada. Dan nafsu syahwati berada di perut. Hukum, kata Plato, wajib berasal dari akal semata. bukan dari kehendak atau nafsu syahwati. Jika hukum berasal dari syahwati, maka akan terjadi cilaka. Aristoteles juga mengatakannya. Hukum adalah buah penyingkapan dari rasio, bukan berlandaskan keinginan (syahwati).
Tapi Socrates diadili. Kisah pengadilannya membahana. Endingnya luar biasa. Dia seolah meminum racun “kebenaran”, yang membuatnya mati. Padahal bisa memilih. Tapi Socrates dianggap membawa mati “kebenaran”. Dan memang benar adanya. Kaum pemuja rasionalitas, masa modern, memuja kisah peradilannya. Pasca rennaisance, peradilan Socrates sering direka ulang. Bahkan kerap diubah endingnya, Socrates menjadi tak mati. Itu dalam sebuah drama.
Plato memberi ajaran. Filsafat turun temurun diajarkan. Dalam sebuah majelis, hingga berujung pada akademi. Tapi Kaisar Justinian I dari Romawi, menutup Akademi Plato. Karena rasionalitas, kata sang Kaisar, tak cukup dalam membuat hukum. Karena di sana, kebenaran tak sepenuhnya bersarang. Filsafat mati suram di masa Romawi Konstantinopel.
Islam kemudian membentang. Meluas hingga Persia dan menguasai jazirah. Di sana ketemu dengan kitab-kitab filsafat. Di terjemahkan. Lalu muncullah filosof muslim. Al Farabi yang menggema. Dia dijuluki “guru kedua” setelah Aristoteles. Karena membawa ajaran Aristoteles dalam dunia Islam. Al Farabi memberi teori “emanasi”. Penyingkapan. Seperti ‘aletheia’ tadi. Tapi Al Farabi bertemu dengan Kebenaran ala Wahyu yang menggema. Syariat.
Emanasi-nya dimaknai sebagai ‘kebenaran ganda’. Ada kebenaran ala Wahyu, dan kebenaran ala rasio. Dia bersikukuh, filsafat juga bisa menyingkap ‘kebenaran’. Farabi mensejajarkan filosof dengan Nabi. Nabi, katanya, menemukan Kebenaran dengan bimbingan Wahyu. Sementara filosof, menemukan ‘kebenaran’, dengan akalnya. Ibnu Sina membuktikan. Dengan saintifik kedokteran, tentu buah dari filsafat, bisa memberi pengobatan pada penyakit. Al Kindi, Al Khawarizmi dan lainnya juga banyak berperan. Mereka menopang hadirnya filsafat dalam era Islam. Kebenaran ganda jadi perbincangan.
Inilah era mutazilah. Ketika Islam dilanda persoalan aqidah. Mutazilah hadir, saat terjadi perdebatan antara jabbariyya dan qadariyya. Filsafat berjumpa dengan aliran qadariyya, itulah yang menjadi mu’tazilah. Tapi mereka tak sempat keluar dari syariat. Tetap dalam bingkai syariat. Hanya berupa saintisme dan persoalan aqidah. Inilah yang menjadi masalah. Imam Asyasri, Imam Ghazali dan mutakallimun mencegatnya. Mereka mantan mutazilah. Mereka mengatakan, filsafat mutazilah sesat dari sisi aqidah. Tauhid. Makanya kemudian mencuat ahlul sunnah waljamaah. Ini benteng dari sisi aqidah. Imam al Ghazali, Shaykh Abdalqadir al Jilani sampai Muhyiddin Shaykh al Akbar Ibnu Arabi membawa umat pada tassawuf. Inilah jalan menemukan Kebenaran yang hakiki. Filsafat mutazilah terhenti. Tapi kemudian filsafat menyeberang ke daratan Eropa barat.
Eropa pun mulai mengenal lagi filsafat. Socrates, Plato, Aristoteles di-Kristen-kan. Sebelumnya masa mutazilah, mereka “di-Islam-kan”. Thomas Aquinas membawanya dari Cordoba. Dia mengutip ajaran Al Farabi sampai Ibnu Rusyd. Aquinas menelorkan teori “Tweez Warden Theorie”, kebenaran dua belah pedang. Dia melawan dogma Gereja Roma, yang kala itu digdaya. Aquinas berkata, rasio juga merupakan sumber ‘kebenaran.’ Dari situlah rennaisance (berpikir kembali) berkumandang. Eropa mulai keranjingan filsafat.
Karena ‘Kebenaran’ masa rennsaince itulah dogma Gereja Roma. Vox Rei Vox Dei (suara Raja suara Tuhan) membahana. Natural law-nya dianggap hukum Gereja Roma. Tapi filsafat makin menyeruak. Kebenaran ala rasio makin diminati. Setelah Aquinas, Copernicus, Galileo, sampai Bruno memberikan perlawanan. Bahwa filsafat dianggap juga sebagai ‘kebenaran.’ Hadirnya Marthin Lutern dan John Calvin makin menyeruak perdebatan suasana Eropa masa itu. Dari sisi aqidah, juga terjadi perdebatan. Sementara rasionalitas makin membahana. Hingga kemudian muncul Rene Descartes, dengan ‘cogito ergo sum’-nya. Descartes tak lagi percaya akan “kebenaran” ala Wahyu. Dia mengeliminasi kebenaran itu. Melainkan hanya berpuncah pada ‘kebenaran’ ala rasio semata. “Tuhan, manusia, bintang dan segala halnya merupakan ajang wilayah penyelidikan akal manusia,” kata Descartes. Teori ini diminati. Hingga kemudian merambah wilayah perihal kekuasaan. Segala sesuatunya harus diteorikan, seperti kata Plato. Idea menjadi mutlak. Machiavelli, Montesquei, Bodin hingga Rosseau menjadi motor teori tentang kekuasaan. Dan soal uang (alat tukar) pun tak luput dari sasaran filsafat. Mulai dari teori ulang perihal riba, bunga, hingga kemudian mensahkan munculnya bank sentral dalam setiap kerajaan. Ini bermula dari nalar, yang dianggap sumber ‘kebenaran.’
Dari Cartesius, hingga muncul juga Immanuel Kant. Empirisme dikenalkan. Segala sesuatunya, dianggap “kebenaran”, jika telah terbukti secara empiris. Teori Cartesius mendapat saingan. Kantian jamak diikuti. Hingga memunculkan Karl Marx, bahwa tentang “being” adalah segala sesuatu yang berbau materi belaka.
Pergumulan ‘eropa springs’ sejak rennaisance itulah klimaknya pada revolusi Perancis, 1789. Itulah era rasionalitas mendapat kemenangan. Dogma tersingkir. Kebenaran ala Wahyu, resmi dieliminasi. State, sesuai teori Machiavelli, diwujudkan. Padahal telah terjadi penyimpangan. Teori Rosseau, le contract sociale, yang diagungkan. Hukum haruslah berlandaskan kontrak manusia. Kontrak sosial. Tak lagi mengacuhkan “kehendak Tuhan.” Melainkan sepenuhnya “kehendak manusia.” Makanya muncul “kontrak manusia”. Dari sanalah muncul constitutio.
Dari sudut itulah terkuak tentang ‘rechtstaat’, negara hukum. Tentang tatanan state, yang wajib memiliki hukum tertulis. Hukum ala rasionalitas semata. Tak lagi hukum ala Wahyu. Terciptalah ‘rechstaat’, merujuk istilah yang ditelorkan John Staal, jurist dari Belanda.
Civitas Akademi mengajarkan, seolah rechtstaat lawan dari maachtstaat. Tapi sejatinya rechtstaat pertanda eliminasi pada hukum alam (natural law). Kebenaran, hukum, seolah hanya bersumber dari rasio semata. Tanpa membenarkan kebenaran ala Wahyu. Pasca tanzimat di Daulah Utsmaniyya, rechtstaat juga diadopsi. Modernis Islam memasukkannya. Mereka membuka kembali ajaran-ajaran mutazilah. Seolah filsafat dibolehkan dalam Islam, tanpa mempedulikan peringatan Imam Asyari, Imam Ghazali sampai Ibnu Khaldun. Tapi modernis Islam lebih ironis. Mereka mendudukkan rasionalitas diatas kebenaran ala naqli. Aqli berada diatas naqli. Padahal Ibnu Khaldun mendudukkan, kesalahan filosof adalah mendudukkan aqli sejajar dengan naqli. Semestinya, dalam Islam, Naqli berada di atas naqli. Nah, modernis Islam, yang terkesima pada modernitas yang menyeruak di barat, malah mendudukkan aqli berada di atas naqli.
Padahal di barat sendiri, filsafat telah menemui kematiannya. Frederich Nietszche mulai mengagungkannya. Beliau merupakan “anak kandung Goethe” dari sisi spirualitas. Goethe, semasa modernitas menyeruak, menentang filsafat sebagai acuan tunggal. “Mustahil alam dijadikan sebagai sistem, karena alam ini adalah kehidupan.” Dari Goethe, barat kemudian melahirkan Nietszche. “Filsafat itulah berhala,” katanya. Kemudian muncul pula Martin Heidegger, filosof Jerman abad 20. Heidegger menegaskan, “Filsafat tak bisa dijadikan sandaran kebenaran, karena filsafat bisa dibuat memadai dan tak memadai,” ujarnya.
Jauh sebelumnya, Imam Ghazali telah mengingatkan. Akal, katanya, bisa saja salah. “Tak bisa mensandarkan hakekat ajaran agama darinya,” katanya. Ibnu Khaldun juga mengingatkan, “Jangan sekali-kali mengambil filsafat sebagai acuan untuk kebenaran, karena jarang sekali orang selamat dari marabahayanya,” ujarnya.
Ian Dallas, ulama kesohor Eropa abad kini, menegaskan pasti tentang kekeliruan filsafat dan perlunya kembali ke Islam. “Inilah jaman ketika kebenaran ala rasionalitas telah mati,” tegasnya. Dallas mengutarakan, modernisme tak lagi bersandar pada kebenaran rasionalitas. Melainkan telah bersandar pada nafsu syahwati.
Ini juga ditegaskan William Friedman dalam bukunya “Legal Theory”. Friedmann berkata, “Hukum sejak masa abad 19 tak lagi dibuat oleh filosof hukum, agamawan dan lainnya, melainkan dibuat oleh praktisi hukum,” paparnya. Dan inila realitas dari rechtstaat. Hukum ala rechtstaat tak lagi bersandar pada buah ‘penyingkapan’ rasio (akal). Melainkan mementingkan nafsu syahwati. Karena praktisi hukum, yang cenderung mengacu pada “perut”, lebih mendominasi dalam “law making process”. Dan ini bisa dilihat kini.
Kebenaran materil, dalam due process of law, di peradilan, tak lagi bersuara. Karena pencari keadilan, buah dari hukum ala rechstaat, lagi menginginkan ‘kebenaran materil.’ Melainkan hanya mengejar “kemenangan materil.” Ini bukti kebenaran dari persepsi Friedmann. Hukum, dari law making process hingga law enforcement, hanya didominasi kaum pemuja syahwati. Bukan lagi filosof, yang notabene mengagungkan kebenaran rasionalitas. Dan inilah jaman “psikosis”, seperti kata Ian Dallas.
Dari sinilah diperlukan Kebenaran hakiki. Kebenaran yang tak bersandar dari rasionalitas belaka. Karena terbukti, rasio telah bergeser pada syahwati. Ini bisa dijamah dalam sehari-hari. Tak perlu lagi empirisme ala Kant. Cukup pandangan mata saban hari, dari jalan hingga peradilan.
Kebenaran hakiki inilah sumber hukum sejati. Itulah yang dikritik Al Farabi hingga Aquinas. Kebenaran ala Wahyu. Di sanalah hukum terpatri. Bukan yang berasal dari morality ala penyingkapan rasio, seperti kata Socrates. Melainkan Naqli. Hukum dari Naqli, baru kemudian aqli. Karena tatanan rohani manusia, untuk menemukan Kebenaran, bukan seperti yang diucapkan Plato: akal—kehendak—nafsu. Melainkan sebagaimana yang diajarkan dalam tassawuf: qalbu—akal—nafsu. Inilah sumber memahami ‘Kebenaran.’ Penyingkapan yang benar adalah dengan menggunakan qalbu (hati). Bukan akal. Qalbu sebagai raja. Bukan akal sebagai raja. Dari kebenaran qalbu inilah, tercipta hukum yang murni. Hukum dari Wahyu. Inilah rute selanjutnya setelah matinya ‘hukum ala rasio’, yang telah berubah menjadi hukum ala syahwati. Karena baik filsafat dan agama menolak syahwati sebagai raja. Jika demikian jadinya, disitulah kerusakan yang nyata. Tapi kini itulah yang terbukti. Akal tak lagi jadi rujukan. Akal bukan lagi sumber kebenaran. Melainkan hukum hanya sebagai pemuas syahwati belaka. Disitulah matinya ‘kebenaran’ ala akal, yang memang rentan dari kesalahan, sebagaimana kata Imam al Ghazali.
Maka, hukum alam akan kembali. Karena manusia mau tak mau menginginkannya. Ini seperti Romulus mendirikan Romawi. Yang tak mau tunduk kepada penyembah api. Melainkan Tauhid sebagai pondasi.
[16:51, 12/22/2020] Amas M: MAHKAMAH AKAL
Oleh: Irawan Santoso Shiddiq
Rasionalitas. Ini jadi masalah peradaban modern. Modern, maknanya kekinian. Bukan semata kemajuan. Kata modern, dianggap sebagai antitesa dari tradisionalis. Tradisional, dikategorikan sebagai “kampungan”. Ini mindset yang dikembangkan, pasca merebaknya modernitas, sejak abad 18 lalu. Tapi modernitas ini kemudian menjadi wabah bencana buat manusia.
Karena modernitas berarti manusia berpijak pada rasional semata. Hanya bersandar pada logika. Bahasa Yunani kuno menyebutnya “logike”. Terhadap “being”, hanya diterjemahkan dengan “logika”. Dan itulah yang disebut dengan filsafat.
Filosof, menyebut akal merupakan jiwa. Socrates mengatakan, akal itulah belahan jiwa. Dari sanalah dianggap sumber “kebenaran.” Buah dari penyingkapan akal. Plato menyebutnya itu sebagai “idea”. Aristoteles mengatakannya dengan “substansi”. Karena, filosof menganggap “Kebenaran” itu telah diletakkan. Manusia, dengan akalnya, bertugas untuk menyingkapnya. Penyingkapan dari akal (rasionalitas) itulah yang seolah melahirkan sebuah ‘Kebenaran.’
Masa mutazilah, ini fase ketika filsafat “di-Islam-kan”. Melahirkan ‘al mutazili’ yang kesohor. Anak kandung filsafat itulah saintisme. Segala sesuatunya menjadi ‘teknikal’ (saintifik). Rasio membuat manusia berpikir statis, bukan dimanis. Al Farabi kemudian membuat saintifisme dalam melihat Islam. Tentu pandangan mutazilah, buah dari merebaknya paham ‘jabariyya’, yang juga menyimpangkan aqidah. Ibnu Sina membuktikan ‘kebenaran’ saintifik dalam dunia kedokteran. Pembedahan lahiriah manusia, dengan metode rasional. Dan itu bisa membuahkan pengobatan. Dari sanalah sumbangsih besar dalam kedokteran, hingga sekarang.
Tapi masa mutazilah, “kebenaran” ala akal ini menjadi masalah. Terutama dalam hal aqidah. Karena mutazilah berujung pada tragedi al mihnah. Al Quran dianggap sebagai ‘makhluk.’ Ini yang dianggap bertentangan dengan Tauhid. Karena rasionalisasi dalam segala hal. Termasuk bagaimana mendudukkan Tuhan, Al Quran dan manusia, kesemuanya hanya bersandar pada basis akal semata.
Ulama membendung. Imam Asyari, mantan mutazilah, menganggap ‘kebenaran’ ala rasio itu bermasalah. Karena menyimpangkan dalam hal aqidah. Di sanalah Imam Asyari membentengi umat. Sifat 20, minimal harus dipahami. Ini merupakan domain Allah Subhanahuwataala, tanpa bisa didudukkan dengan rasionalitas belaka. Terjadilah pertempuran hebat para “al mutazili” dan muhaditsun, sufi, sampai mutakallimun. Imam Ghazali mengeluarkan ‘Tahafut al Falasifah’. Penyimpangan filsafat. Karena Imam Ghazali menegaskan, “Akal tak sepenuhnya benar, akal bisa saja salah.” Karena penyingkapan ala akal, terkadang dipengaruhi juga oleh nafsu manusia. Disitulah hasil “penyingkapan” akal terkadang menghasilan subjektifitas ala manusia sendiri. Dan ketika hasil penyingkapan akal itu bertentangan dengan naqli, malah para filosof menganggap kebenaran ala akal yang layak dipegang. Disinilah permasalahan. Al Farabi telah menegaskan. Menurutnya, emanasi merupakan kebenaran ganda. Kebenaran ala filsafat dan kebenaran ala Wahyu. Filosof, katanya, bisa disejajarkan dengan Nabi. Perihal dalam menemukan realitas ‘kebeneran.’ Filosof, ujarnya, menemukan ‘kebenaran’ dengan akalnya. Sementara Nabi, menemukan ‘Kebenaran’ dengan bimbingan Wahyu. Alhasil terjadilah dikotomi. Dan ketika ‘kebenaran’ buah penyingkapan akal bertentangan dengan Wahyu, filosof tetap mempertahankan diri. Maka, ulama pun mencegat penyimpangan para filosof itu. Karena filsafat mendudukkan ‘qudrah dan iradah’ merupakan domain manusia. Bukan domain Tuhan.
Fase mutazilah pun lewat. Imam Ghazali sampai Maulana Shaykh Abdalqadir al Jilani menggaungkan lagi tassawuf. Dari sinilah jalur pemahaman ‘Kebenaran’ tak mungkin keliru. Bukan berbasis pada akal semata. Melainkan dengan merujuk ‘qalbu’ (hati). Shaykh Abdalqadir al Jilani mendudukkan dengan terang, dimana posisi qalbu, akal dan nafsu syahwati. Ini merupakan anatomi batin manusia. Karena manusia terdiri dari dzahir wal bathin. Bathin, bukan semata berisikan akal. Karena Socrates mengajarkan, batin itu hanyalah akal semata. tak ada penjabaran tentang qalbu.
Imam Ghazali mendudukkan, ketika kertas membakar api, itu sejatinya bukan “perbuatan manusia”. Melainkan tetap merupakan ‘Perbuatan Tuhan.’ Karena Allah Subhanahuwataala, menciptakan seluruh dunia dan isinya. Penciptaan atas suatu benda, berikut dengan sifat-sifatnya. Api tentu sifatnya membakar terhadap materi. Tapi tak semua materi bisa terbakar oleh api. Misalnya besi. Dan besi, sebagai bagian dari ciptaan Allah juga, diciptakaan berikut dengan sifat-sifat besi. Demikian pula dengan kertas. Ketika manusia menbakar kertas, maka itu bukanlah buah “penyingkapan” akal manusia. Sehingga hal itu dianggap sebagai buah kemampuan manusia. Melainkan tetap dalam kerangka domain Qudrah dan Iradah Allah Subhanahuwataala. Karena Tuhan menciptakan kertas, api dan lainnya itu, berikut dengan sifat-sifatnya. Terbakarnya kertas oleh api, bukan sebab manusia mampu membuat kertas itu terbakar oleh api. Karena dalam api terkandung sifat-sifat api. Dan dalam kertas, Allah juga telah menciptakan berikut dengan sifatg-sifat benda itu. Jadi dalam pandangan filosof, yang membuat kertas itu terbakar, buah dari penyingkapan akal, yang merupakan domainnya manusia. Disinilah yang menjadi masalah, menurut Imam Ghazali.
Kemudian kisah berpindah. Karena filsafat kemudian berpindah. Setelah mandeg dalam Islam, tassawuf kembali menggema. Dari sana peradaban Islam bangkit kembali. Masa mutazilah menjangkiti Islam, memang sains meninggi. Tapi keruntuhan terjadi. Hilangnya Andalusia, sampai takluknya Khalifah Al Mutashim Billah di Baghdad oleh Mongol, tentu buah dari merebaknya paham mutazilah. Hingga kehilangan Al Quds, sebelum direbut kembali oleh Sultan Salahuddin al Ayyubi dan para kaum sufi. Mereka bukanlah produk dari mutazilah.
Filsafat pun menyeberang ke Eropa. Thomas Aquinas mengutip ajaran Ibnu Rusyd, Al Farabi sampai Ibnu Sina. Emanasi dihidupkan di Eropa. Karena di sana mereka melawan ‘kebenaran’ ala Geraja Roma. Kebenaran ala Gereja mendominasi. Itu yang disebut dogma. Aquinas menerbitkan buku ‘Tweez Warden Theorie”, kebenaran dua belah pedang. Kebenaran ala filsafat dan kebenaran ala dogma. Aquinas dengan berani, memasukkan filsafat untuk dikunyah kaum Eropa. Dan itu disambut hangat. Karena dogma dianggap telah jauh meninggalkan rasionalitas. Tak masuk akal. Makanya mereka kemudian asyik memburu kebenaran ala akal. Filsafat pun diminati. Rennaisance pun terjadi. Berpikir kembali. Artinya, berfilsafat kembali.
Perang filsafat dan dogma pun menggema di Eropa. Tapi tak sedahsyat perang antara mutazilah dan ahlul Sunnah waljamaah dalam Islam. Karena filsafat dan dogma, kemudian berpuncak tajam. Copernicus, Galileo hingga Bruno merupakan bentuk “kekalahan” filsafat. Tapi ketika serangan internal dari sisi aqidah Nasrani menggeliat, dari Luthern hingga Calvin, disitulah filsafat makin diminati. Kebenaran akal pun makin dicari.
Tapi dogma makin tak diminati, karena masa itu dunia Nasrani berada dalam ambang ‘kegelapan.’ Mereka bukan pengendali dunia. Al Quds dikuasai Islam. Mamluk hingga Utsmaniyya membuat Islam berjaya. Dunia dalam genggaman Islam. Itu pasca abad pertengahan. Tentu fase kejayaan Islam itu, pasca mutazilah. Setelah umat terbebas dari virus filsafat. Kembali pada aqidah ahlul Sunnah waljamaah. Ibnu Khaldun menjelaskannya rinci. Islam mendudukkan bagai Naqli berada di atas aqli (akal). Bukan Naqli sejajar dengan aqli. Teori emanasi Al Farabi, kaum mutazilah, mendudukkan aqli seolah sejajar dengan Naqli.
Rennaisance mencoba menerapkan itu. Aqli dianggap sejajar dengan Naqli. Akal dianggap setara dengan Kebenaran ala Gereja. Tapi benteng Gereja Roma tak sekuat ahlul Sunnah waljamaah, dalam membentengi serbuan filsafat.
Hingga kemudian muncul Rene Descartes. Teorinya “Cogito ergo sum”. Bahwa kebenaran itu adalah “Aku berpikir maka Aku ada (being)”. Descartes membalik teori Francis Bacon, “Aku Ada (being) maka Aku Berpikir (thingking)”. Tapi inti dari kesemuanya itu, filsafat menjadi acuan tunggal. Tak ada lagi kebenaran ala Naqli. Inilah yang disebut era modernitas.
Dari Descartes, teori ‘Kebenaran’ pun tergeser. Manusia seolah dianggap sebagai subjek yang mengamati. Bukan objek yang diamati. Tak ada lagi ‘kebenaran’ ala Naqli. Melainkan hanya berpatok pada ‘Kebenaran’ ala aqli semata. Filsafat, kata Descartes, adalah ketika Tuhan, manusia, alam semesta dan lainnya merupakan objek penelitian akal manusia. Disinilah “kebenaran” akal menjadi mendominasi. Dan mengeliminasi kebenaran Naqli.
Sandaran ‘kebenaran’ ala akal melanda ranah kekuasaan sampai soal keuangan. Segala hal menjadi mengacu pada akal semata. kekuasaan pun demikian. Masa dogma, kaum Eropa dipaksa untuk tunduk pada “Vox Rei Vox Dei”. Suara Raja Suara Tuhan. Raja-raja monarkhi, dianggap sebagai perwakilan Tuhan. Sementara masa itu ‘Eropa springs’ tengah terjadi. Ketiranian raja menjadi-jadi. Hingga Magna Charta, abad 13 di kerajaan Inggris, mampu menggeser ‘kebenaran’ dogma. Benarkah raja merupakan wakil Tuhan? Ketika Raja John membuat pernyataan perdamaian pada 25 baron, para Kesatria penegak virtue (futtuwa) di Inggris, disitulah dogma mulai tergeser.
Machiavelli pun merasionalisasi tentang kekuasaan. Muncullah ‘Il Principe’. Kekuasaan haruslah bersifat stabil. Alenia pertama kitab ‘Il Principe’ itu memunculkan kata “statum”. Bahasa Latin dari ‘stabil.’ Ini yang diterjemahkan dalam English menjadi “state”, Belanda “staat”, Perancis “L’etat’. Dan diterjemaghkan menjadi ‘negara’, oleh entah siapa. Dan ini yang mempengaruhi hingga kini. Tentu hanya buah dari rasionalitas belaka.
Motesquei menyambut. Bahwa kekuasaan haruslah saling kontrol. Tak bisa sekedar “the king can do no wrong’. Maka dia menelorkan rasionalisasi terhadap check and balances system. Kekuasaan haruslah saling kontrol, dan itu harus dibawah kendlai manusia. Bukan Tuhnan. Controling itu merupakan domain Tuhan. Dari Montesquei-lah kemudian menggema eksekutif, legislatif, yudikatif, sebagai wadah untuk saling kontrol terhadap kekuasaan. Dogma pun makin melemah. Vox Rei vox Dei makin tergerus.
Akal makin mendominasi. Naqli makin ditinggalkan. Sementara belantara Islam makin berjaya, masa ketika Eropa masih sibuk bertarung antara kebenaran aqli atau Naqli. Karena tassawuf yang menjadi sandaran. Bukan lagi filsafat.
Klimaks dari perang ‘aqidah’ aqli dan naqli di Eropa berujung pada revolusi Perancis, 1789. Ini seabad setelah kemenangan penganut filsafat. Aqli. Kaum Gereja dan Raja dieliminasi. Para borjuis mengambil alih. Robbiespiere, penggerak utama revolusi, mengacu tunggal pada teori Rosseau. Trentang kontrak sosial. Bahwa kekuasaan, dari Rosseau kita memahami, merupakan qudrah dan iradah manusia. Bukan Tuhan. Makanya manusia yang berhak membuat hukum. Aturan. Ini sebagai simbolisasi atas ‘kebenaran.’ Rosseau melahirkan teori ‘kontrak sosial’ yang harus dituangkan bersama sebagai aturan. Itulah konstitusi. Maka, revolusi Perancis melahirkan ‘state’ dengan konstitusi. Tapi tak sekedar itu. dibalik teori ‘state’, buah rasionalitas manusia, muncul sekelibat pengtur lainnya. Karena ‘modern state’ tak lahir dari merebaknya ‘kebenaran akal’ semata. melainkan sosok pengatur keuangan, yang mereka kemudian mengatur Raja dan Presiden. Merekalah para elit bankir. Konglomerat. Bankir ini memunculkan bank sentral. Bank sentral ini sebagai penguasa tunggal terhadap uang. Uang, pun menjadi korban rasionalisasi akal. Emas dan perak, dirasionalisasi hingga menjadi kertas. Karena dianggap sah, jika telah disahkan oleh aturan bersama, kontrak sosial tadi. Maka yang terjadi adalah akal-akalan. Bukan lagi kebenaran akal. Melainkan kebenaran akal-akalan. Bank sentral dalam pondasi modern state itulah buah dari akal-akalan. Tak lagi patuh pada ‘kebenaran’ sebagaimana dimaksud Socrates sampai Aristoteles.
Bankir yang mengangkat Raja William di Inggris. Kemudian mereka mendapuk Napoleon sebagai Kaisar produk revolusi. Dan menjadi Tsar Rusia dengan sekehendak hatinya. Sampai menjatuhkan Sultan Abdulaziz I, dengan tanzimat (reformasi)-nya. Inilah musibah besar di Daulah Utsmaniyya, tahun 1840. Karena kemudian bankir, yang berpondasikan pada nafsu syahwati, bukan lagi akal, menguasai dunia. Karena dari bankir, akal bisa ditaklukkan. Kebenaran akal bisa dikendalikan.
Dari sanalah musibah kemudian membahana. Descartes meluncurkan ‘cogito ergo sum’. Immanuel Kant melengkapi dengan empirisme. Hingga Marx meluncurkan “segala sesuatunya adalah materi”. Tak adalah kebenaran naqli. Dan ini melanda umat Islam. Tiga tokoh memasukkan kembali modernitas, untuk “diislamisasi’. Merekalah Jalaluddin al Afghani, Rasyid Ridho dan Abduh. Disitulah kemudian muncul yang disebut ‘modernis Islam’. Ini lebih ironis dibanding masa mutazilah. Karena dulu, mutazilah meletakkan aqli sejajar dengan naqli. Sementara modernis Islam, sejak abad 18 itu, mendudukkan aqli berada di atas naqli. Bukan lagi sejajar. Al Quran dianggap konstitusi. Naudzubillah. Bank diislamisasi. Uang kertas, dicari alibi, hingga kemudian Hadist dan tafsir, diperalat untuk melegitimasi ‘akal-akalan’ ala modernisme. Disinilah bencana melanda umat Islam. Mutazilah, Islam hanya kehilangan Andalusia, Al Quds dan kehilangan Khalifah selama 3 tahun saja. Tapi semenjak paham modernis Islam merebak, umat kehilangan seluruh negeri-negeri muslim. Berada di bawah kendali kuffar. Karena tassawuf dimusuhi, dianggap bidah, yang padahal disanalah kekuatan Islam berasal.
Karena modernitas, buah dari kebenaran tunggal akal, hanya melahirkan “teknikal state”. Negara yang menjadi mesin. Manusia distatistik seperti mesin. Karena manusia disamakan dengan “badan hukum”. Manusia didudukkan dalam mekanisme sains, yang membuat kesemuanya bisa disistematisasi. Ini yang disebut Goethe sebagai bencana. “Mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem, karena alam adalah musim,” katanya. Goethe melancarkan ketidaksetujuan dengan filsafat yang melanda modernitas.
Dari Goethe, lahirlah Nietszche. “Filsafat adalah berhala,” katanya. Sementara Martin Heidegger kemudian menyambutnya, “Akal tak bisa dijadikan panduan untuk memahami Kebenaran, karena akal bisa dibuat memadai dan tidak memadai.” Heidegger ini seolah memahami kalimat Imam Ghazali, kisaran seribu tahun sebelumnya. Imam Ghazali telah mewanti, “Akal bisa saja salah.” Dan itulah yang terjadi di era post modernisme kini. Akal berada dalam kendali nafsu syahwati. Bukan dalam kendali qalbu. Tassawuf mengajarkan bagaimana akal harus ditundukkan dalam qalbu. Termasuk nafsu syahwati. Hingga menjadi jiwa yang tenang. Tassawuf tentu tak mengajarkan “segala sesuatunya adalah materi.” Melainkan bentuk pengajaran Kebenaran sejati yang hakiki. Disinilah kunci untuk memahami Kebenaran. Sementara filsafat membaliknya. Kebenaran, kata filsafat, merupakan buah rasionalitas penyingkapan akal semata. tanpa lagi memandang kebenaran ala aqli.
Alhasil, manusia tunduk pada mekanisme statistik. Saintifik. Segala sesuatunya harus bersifat saintifik. Dan inilah menjadi “kebenaran tunggal” masa modernitas. Dari sanalah Nietszche tegas mengatakan, “Filsafat adalah berhala.” Karena akal manusia, memunculkan produk hasil rasionalisasi. Itulah modern state, konstitusi sampai bank sentral, yang merupakan bentuk penyimpangan dari akal. Bukan lagi lahir dari akal budi, sebagaimana Socrates mengajarkan.
Masa modernitas inilah ‘kebenaran’ akal ditunggangi oleh nafsyu syahwati. Akal mudah disimpangkan. Alhasil syahwati sebagai pengendali. Lembaga peradilan, due process of law, tak lagi merujuk pada kebenaran akal. Melainkan telah berubah menjadi pelampias nafsu syahwati. Peradilan ala rasio, mulai law making process hingga law enforcement, hanya menjadi pemuas syahwati sekelompok elit pemegang kekuasaan. Makanya peradilan, tak lagi menjadi ajang menemukan ‘kebenaran materil,’ sebagaimana teori awal peradilan ala rasio. Melainkan kini berubah “mencari kemenangan materil.’ karena hanya beranjak dari syahwati. Bukan lagi akal semata.
Dari sinilah Kebenaran sejati dirindukan. Dan Kebenaran itu hanya bersandar pada tassawuf. Karena tassawuf mengajarkan bagaimana falisitas untuk meraih dan menggapai ‘Kebenaran’ Naqli itu, dan menempatkan aqli pada tempatnya.
Seperti kata Heidegger, "Filsafat telah mati."
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI
0 Comments
BIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR