TEORI KONTRAK SOSIAL SECARA UMUM
Menurut Wikipedia, Kontrak sosial adalah sebuah perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya, atau antara manusia-manusia yang tergabung di dalam komunitas tertentu.[1] Secara tradisional, istilah kontrak sosial digunakan di dalam argumentasi yang berupaya menjelaskan hakikat dari kegiatan berpolitik atau menjelaskan tanggung jawab dari pemimpin kepada rakyat.[1] Beberapa filsuf yang memakai teori kontrak sosial adalah Plato, Hobbes, Locke, Rousseau, dan Kant.[1]
J.J. Rousseau Dalam bukunya Du Contract Social ia menyatakan bahwa manusia dalam masyarakat telah mengadakan perjanjian masyarakat atau yang dikenal dengan istilah “kontrak sosial” bertujuan untuk membentuk suatu badan (pemerintah) yang diserahi kekuasan untuk menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat, dan untuk memaksa siapa saja yang melanggar peraturan yang telah dibuat
TEORI KEDAULATAN RAKYAT
Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.Rakyat memberikan kekuasaannya kepada penguasa untuk menjalankan pemerintahan melalui sebuah perjanjian yang disebut kontrak sosial. Penguasa negara dipilih dan ditentukan atas kehendak rakyat melalui perwakilan yang duduk dalam pemerintahan.
Demikian pula sebaliknya, penguasa negara harus mengakui dan melindungi hak-hak rakyat serta menjalankan pemerintahan berdasarkan aspirasi rakyat. Apabila penguasa negara tidak dapat menjamin hak-hak rakyat dan tidak bisa memenuhi aspirasi rakyat, maka rakyat dapat mengganti penguasa tersebut dengan penguasa yang baru. Penganut teori ini adalah Solon, John Locke, Montesquieu dan J.J. Rousseau.
Teori kedaulatan rakyat hampir diterapkan di seluruh dunia, namun pelaksanaannya tergantung pada rezim yang berkuasa, ideologi dan kebudayaan masing-masing negara. Ide dasar teori kedaulatan rakyat sangat sederhana, bahwa rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Rakyat haruslah berkuasa independen atas dirinya sendiri6. Bung Hatta mengatakan kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat. Pemerintahan yang dilakukan oleh pemimpin pemimpin yang dipercayai oleh rakyat. Ide kedaulatan rakyat ini lahir sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang akhirnya menyebabkan tirani dan kesengsaraan rakyat.
Perlawanan terhadap ajaran Kedaulatan Raja berawal dari ketakutan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh raja di Eropa. Keraguan terhadap kekuasaan yang berlebihan ini, terutama juga kekuasaan gereja, muncul di Eropa pada tahun 1517.Gereja dituduh telah menyelenggarakan kekuasaannya untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan duniawi. Para pemikir kala itu berusaha meruntuhkan hegemoni gereja dalam urusan kenegaraan, terutama monopoli gereja terhadap interpretasi ajaran agama. Karena negara mengurusi kepentingan rakyat, rakyatlah yang memiliki hegemoni tersebut. Pergerakan perlawanan kala itu dimotori kaum Monarchomacha yang sampai pada titik tuntutan bahwa warga negara berhak memberontak dan membela diri dari pemerintah yang sewenang- wenang.
Apabila Kaisar melanggar undang- undang, rakyat tidak usah mematuhinya lagi. Perlawanan inilah yang menjadi awal terbitnya buku pertama dengan judul Vindiciae Contra Tyrannos yang ditulis kaum Monarchomacha pada tahun 1579 yang menganut prinsip kedaulatan rakyat, di mana raja tidak boleh memerintah dengan sewenang- wenang terhadap rakyat. Jika itu terjadi, maka muncullah hak setiap orang untuk melawan. Dalam buku tersebut dinyatakan meskipun raja dipilih Tuhan, tetapi dia diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Tiada orang yang dilahirkan sebagai raja, tak mungkin seseorang menjadi raja tanpa ada rakyat. Sejak terbitnya buku tersebut, lahirlah konsep kedaulatan rakyat
REVOLUSI PERANCIS
Ajaran ini kemudian mengilhami Revolusi Perancis, sehingga kemudian menguasai seluruh dunia dalam bentuk “mitos abad ke-19” yang memuat paham Kedaulatan Rakyat dan Perwakilan. Ajaran ini pula yang akhirnya menjadi prinsip dasar yang kemudian dikenal sebagai konsep demokrasi. Sekalipun dengan bentuk pelaksanaan yang berbeda- beda di setiap negara, gagasan kedaulatan rakyat yang tumbuh dari tradisi Romawi ini telah menghegemoni pemikiran kenegaraan hampir 90% negara- negara di dunia. Ahli pikir yang cukup dikenal dalam mengembangkan dan mempunyai kaitan erat dengan ajaran kedaulatan rakyat ini adalah John Locke (1632- 1704). Dalam Second Treatise of Civil Government (1690), Locke menguraikan keberatan utamanya terhadap kerajaan absolut, bahwa tanpa dasar persetujuan mereka yang diperintah, absolutisme dalam arti sempit bukanlah masyarakat politis sama sekali absolutisme hanyalah kekerasan belaka. Kekerasan hanya akan mengorbankan kemuliaan seorang manusia yang menjadi warga negara. Hal itu tidak boleh terjadi karena menurut Locke, manusia sejak lahir mempunyai hak- hak pokok yang tidak dapat dikurangi lagi. Oleh karena negara lahir disebabkan adanya perjanjian warga negaranya, dan bertujuan menjamin hak-hak asasi tersebut, maka tidak boleh ada kekuasaan absolut dalam sebuah negara.
Kekuasaan absolut tidak mungkin sejalan dengan masyarakat sipil karena tujuan masyarakat sipil adalah untuk menghindari dan memperbaiki hal- hal yang tidak menyenangkan dalam keadaan alamiah. Perjanjian warga negara yang dikatakan Locke berikutnya populer dengan istilah kontrak sosial yang diperkenalkan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Dalam bukunya Du Contract Social ia menyatakan bahwa manusia dalam masyarakat telah mengadakan perjanjian masyarakat atau yang dikenal dengan istilah “kontrak sosial” bertujuan untuk membentuk suatu badan (pemerintah) yang diserahi kekuasan untuk menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat, dan untuk memaksa siapa saja yang melanggar peraturan yang telah dibuat.
DEMOKRASI
Mengutip teori Jean Jaques Rousseau, demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Pernyataan Rousseau ini seakan mengatakan, bahwa demokrasi bagi sebuah negara adalah sebuah pembelajaran menuju ke arah perkembangan ketatanegaraan yang sempurna.Padahal disadari oleh Rousseau, bahwa kesempurnaan bukanlah milik manusia.
Oleh karenanya, yang menjadi ukuran ada tidaknya sebuah demokrasi dalam sebuah negara bukan ditentukan oleh tujuan akhir, melainkan lebih melihat pada fakta tahapan yang ada. Demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya sebuah negara. Dengan begitu Rousseau seolah ingin mengatakan bahwa jika menempatkan demokrasi secara kaku dan ideal, tidak akan pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi21. Hal inilah yang juga disadari oleh Hans Kelsen. Uraiannya tentang demokrasi menjadi lebih tertata dan terstruktur. Ini untuk membuktikan, bahwa demokrasi adalah sebuah proses yang berkelanjutan menuju kesempurnaan.
Awal dari datangnya ide demokrasi menurut Hans Kelsen adalah adanya ide kebebasan yang berada dalam benak manusia. Pertama kali, kosakata “kebebasan” dinilai sebagai sesuatu yang negatif. Pengertian “kebebasan” semula dianggap bebas dari ikatan- ikatan atau ketiadaan terhadap segala ikatan, ketiadaan terhadap segala kewajiban.
Namun, hal inilah yang ditolak oleh Hans Kelsen. Pasalnya, ketika manusia berada dalam konstruksi kemasyarakatan, maka ide “kebebasan” tidak bisa lagi dinilai secara sederhana, tidak lagi semata- mata bebas dari ikatan, namun ide “kebebasan” dianalogikan menjadi prinsip penentuan kehendak sendiri. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran Hans Kelsen mengenai demokrasi.
Dalam demokrasi modern, secara mencengangkan, Hans Kelsen berpendapat bahwa apa yang terjadi dewasa ini di negara-negara yang mengatasnamakan negara demokrasi, ternyata tidak sepenuhnya memahami proses keterwakilan ini. Prinsip keterwakilan yang dipahami oleh Hans Kelsen ternyata berorientasi pada ada tidaknya proses pertanggung jawabannya terhadap pemilih. Ini artinya, demokrasi dalam konteks perwakilan mengharuskan adanya pertanggungjawaban yang besar, terutama secara moral, kepada para pemilihnya, dan bukan pertanggungjawaban terhadap partai politik yang mengusungnya
Sumber-Sumber :
[1] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cetakan pertama, Penerbit Nuansa dan penerbit Nusamedia, Bandung, 2006, hlm 404
[2]Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi Kelima, UI Press, Jakarta, 1993, hlm. 51
[3]Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta, 2007
BACA : Aplikasi Faktual Teori Hukum Thomas Hobbes
BACA JUGA TULISAN LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI
1 Comments
Tks bro
ReplyDeleteBIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR