![]() |
| gambar milik RAKYAT FILSAFAT |
Beberapa hari yang lalu saya menjumpai tulisan dari saudara Irawan Santoso.SH, di beranda facebook. ya walaupun bukan dari facebook beliau langsung saya lihat. Melainkan dari akun anonim yang thread nya sedang viral. Dan kebetulan saya pribadi kenal dengan beliau (irawan santoso), saya sudah baca buku beliau "Kembalinya hukum islam, matinya positif Law". Jujur saja tanpa menambah-nambahkan, buku beliau sangat keren. Sebagai Mahasiswa Islam yang menempuh Program studi Ilmu Hukum membuat saya sedikit goyang akan hal-hal yang selama ini saya pelajari dikampus. Hahahah
Tapi kali ini saya bukan mau
meresensi Buku itu yah. Saya Cuma mau bagiin tulisan Saudara Irawan Santoso,SH
yang kemarin saya temukan di Beranda Facebook. Dan saya juga tidak mengomentari
Tulisan tersebut yah. Saya Cuma mau membagikan saat ini. Kalau tidak ada
kendala, 3-4 hari kedepan saya akan buat Resensi Tulisan beliau yang berjudul “Aqidah
dan Filsafat”.
Daripada menunggu lama
basa-basi nya saya, langsung saja dibaca Tulisan Beliau ya!!!
Thread original At Post here ↓↓
Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam bersabda: “Iman akan kembali ke Madinah
seperti ular kembali ke sarangnya.” (HR Muslim).
Ini hadist penting. Untuk tahu situasi jaman. Tentang suatu masa, perihal
‘hilangnya’ aqidah di Madinah. Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama dari barat,
dari Skotlandia, pernah berkata, “Kurun waktu seratus tahun terakhir ini, kaum
muslimin disuguhi pengajaran Tauhid yang mengerikan.” Beliau dari barat. Bukan
dari Arab. Hadist tadi, menunjuk tentang Iman yang akan kembali ke Madinah. Itu
bisa jadi dari barat, timur, utara atau selatan. Yang akan kembali ke Madinah.
Maka, longoklah apa yang terjadi di barat. Di Eropa. Di sana menetap kaum
muslimin mualaf, para bule berkulit putih, mereka memegang Tauhid yang teguh.
Suatu ketika, Shaykh Abdalqadir as sufi berada di Hotel Hyde Park, London,
seorang Menteri dari Saudi Arabia berkata, “Shaykh Abdalqadir as sufi adalah
pemimpin semua umat Islam di Eropa, hendak dipastikan beliau memiliki aqidah
yang betul,” kata pejabat dari Arab itu. Tapi Shaykh Abdalqadir as sufi
menjawab, “Kita berpegang teguh pada aqidah amah ahlul Madinah.” Aqidah yang
berasal dari tiga generasi awal. Itulah generasi salafush shalih. Di sana
pembahasan aqidah masih utuh. Murni, sesuai dengan ajaran Rasulullah
Shallahuallaihi Wassalam.
Iman itulah aqidah. Itulah Tauhid. Tiga pilar dalam Dinul Islam:
Iman-Islam-Ikhsan. Ketiganya tegak, maka Dinul Islam berjaya. Salah satu pilar
runtuh, maka Islam pun rubuh. Dan, kondisi kini, itulah yang terjadi. Perihal
Iman, mengalami keruntuhan. Efeknya, hilangnya syariat Islam. Karena, seperti
Shaykh Abdalqadir as sufi katakan, kurun seratus tahun terakhir ini kita
disuguhi Aqidah yang ‘mengerikan.’
Apa aqidah yang ‘mengerikan’ itu? Ini percampuran dalam memahami Allah
Subhanahuwataala. Dalam ‘Kitab Tauhid’, Shaykh Abdalqadir as sufi menjabarkan,
ada yang ‘bertanzih’ tapi tak ‘bertasbih’.
Ada yang bertasbih, tapi tak bertanzih. Aqidah ahlul Sunnah waljamaah
adalah tanzih dan tasbih. Ini mesti berjalan beriringan. Shaykh Al Akbar, nama
tenar dari Shaykh Ibnu Arabi, menjelaskan perihal tanzih dan tasbih itu.
Tauhid, tentu oposisinya dalah musyrik. Ini bisa dari pemisahan antara
‘pencipta perbuatan baik’ dan ‘pencipta perbuatan buruk.’ Paling kasat mata,
tatkala ada manusia yang menyembah pohon kayu atau menebar bunga-bunga di
lautan. Tujuannya agar menolak bala. Karena manusia itu berpikir, bahwa bala
atau bencana datang dari lautan atau dari pohon kayu itu. Inilah kemusyrikan
yang kasat mata. Karena manusia seolah memisahkan, ‘perbuatan baik datang dari
Allah’. Sedangkan perbuatan buruk bukan datang dari Allah. Alhasil manusia
menyembah pohon kayu dan lautan, supaya tak terkena ‘perbuatan buruk.’ Kaum
Majusi, menyembah api. Mereka menganggap api itu sebagai penangkal ‘perbuatan
buruk.’ Inilah kesesatan yang nyata.
Karena baik dan buruk, tentu datang dari Allah. Inilah hal aqidah.
Tapi ada juga tentang pasal ‘qudrah’ dan ‘iradah.’ Ini yang jadi pokok masalah sejak sedia kala.
Tentang dikotomi ‘Perbuatan Allah’ dan ‘perbuatan manusia.’ Masa Kekhilafahan
Umayyah, ada sekelompok orang menggunakan Qada dan Qadar dengan metode
pemaksaan. Bahwa seolah semuanya datang dari Allah, tanpa manusia berhak
menilai. Alhasil sekelompok yang berkuasa, kerap menggunakan doktrin itu untuk
melakukan penghukuman. Ini yang kemudian menghasikan ‘jabarriyya.’ Bahwa seolah
keseluruhan merupakan ‘perbuatan Allah.’ Ini mirip dengan hanya ‘bertasbih’,
tanpa ‘bertanzih.’ Dalam aliran hakekat, ini yang seolah dikenal dengan
‘wahdatul wujud.’ Tapi Shaykh Abdalqadir as sufi mengatakan, dari puluhan kitab
Shaykh Al Akbar, tak satu pun yang menegaskan tentang adanya kata ‘wahdatul
wujud.’ Istilah ini yang kemudian disebut ‘panteisme.’
Kemudian, fase berganti. Dari paham ‘jabariyya’ kemudian beralih pada satu
sudut pandang kebalikannya. Bahwa seolah manusia yang berhak atas segala
sesuatunya. Bukan ‘perbuatan Allah.’ Alhasil melahirkan ‘qadariyya’. Dan inilah
yang berujung pada mu’tazilah. Tepat ketika kaum muslimin kemudian mendapatkan
filsafat dari kitab-kitab Yunani kuno dan Romawi. Mu’tazilah inilah yang masuk
banyak mempengaruhi aqidah kaum muslimin, masa dulu itu. Masa munculnya Al
Farabi, Ibnu Sina dan lainnya. Yang kemudian mendapat serangan dahsyat dari
Imam Al Ghazali dan pengikutnya. Itulah fase pertentang mu’tazilah dan ahlul
sunnah waljamaah. Karena muslimin jamak digelontorkan aqidah, dari sudut
filsafat. Kaum mutakalimun dan ahli sufi, banyak ditampikkan. Sementara
filosof, jamak diagungkan. Jaman ketika banyak berbangga menyematkan nama
belakangnya sebagai ‘al mutazili.’ Sebagai mu’tazilah. Pertanda sebagai kaum
yang berpikiran rasionalis. Logika. Nalar sebagai utama. Jaman inilah perihal
‘aqidah’ menjadi masalah utama kaum muslimin. Tapi ingat, fase mu’tazilah dulu,
tak sampai merubah syariat Islam. Berbeda dengan masa sekarang.
Disitulah pertarungan antara qudrah dan iradah. Seolah urusan di dunia
merupakan qudrah dan iradah manusia. Manusia dianggap memiliki kehendak. Al
Farabi, memberikan teori ‘emanasi’. Bahwa manusia dibekali akal (rasio) untuk
menentukan Kebenaran. Dia merujuk Plato dan Aristoteles. Manusia yang unggul
itulah yang filosof. Karena filosof mampu menemukan ‘Kebenaran’ dengan akal.
Sementara Nabi menemukan Kebenaran dengan bimbingan Wahyu. Inilah teori
‘Kebenaran Ganda.’ Disinilah titik tekan qudrah dan iradah berada di area
manusia. Tapi kemudian aqidah mu’tazilah dianggap berbahaya. Imam Asy’ari dan
Imam Mathuridi memberi batasan. Tentang perlunya kembali pada sifat-sifat Allah
Subhanahuwataala. Qudrah dan iradah sepenuhnya urusan Allah Subhanahuwataala.
Bukan kehendak manusia. Makanya ada mahdhab Asy’ari dan Mathuridi, sebagai
jalan menuju aqidah yang diajarkan Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam.
Disitulah tersusun batasan ahlul sunnah waljamaah.
Imam Ghazali memberi benteng yang kuat. Kitabnya, ‘Tahafut al Falasifah’,
menonjok langsung kesesatan para filosof dalam memahami Allah Subhanahuwataala.
Shaykh Abdalqadir al Jilani, 30 tahun selepas Imam Ghazali, membawa kembali
umat pada tassawuf. Alhasil ‘al
mu’tazili’ pun terhenti. Filsafat tak lagi digandrungi. Tassawuf menjadi jalur
aman dalam memahami Dinul Islam.
Tapi filsafat kemudian menyeberang ke daratan Eropa. Thomas Aquinas
mengambilnya dari Ibnu Rusyd. Bacon meneruskannya. Hingga kemudian muncul Rene
Descartes, dengan cogito ergom sum-nya. Dan, qudrah dan iradah kembali menjadi
masalah. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia dipisahkan. Muncullah yang
disebut sepenuhnya ‘kehendak manusia.’ Itulah metode rasionalitas, manusia yang
menjadi objek pengamat. Bukan lagi objek yang diamati. Rasionalitas menjadi
patokan untuk menteorikan Tuhan, maka lahirlah ‘ketuhanan.’ Rasionalitas
mendefenisikan manusia, muncullah: ‘kemanusiaan’. Inilah buah filsafat. Efeknya
membesar di Eropa. Memang kala itu, filsafat cukup manjur untuk melawan doktrin
Gereja Roma. Seolah suasana Eropa bak menjadi ‘jabbariyya’. Dogma itu dilawan
dengan hadirnya filsafat. Tapi kemudian filsafat meleset melesat. Perihal kehendak manusia, menjadi euforia.
Immanuel Kant memberikan rumusan baru. Rasionalis empiris. Disinilah
rasionalitas makin menjadi raja. Kehendak dan daya, sepenuhnya berada pada
manusia. Alhasil, urusan kekuasaan, diteorikan. Ini yang melahirkan ‘politik.’
Urusan hukum, difilsafatkan. Lahirlah positivisme. Hukum positif. Urusan uang,
difilsafatkan, lahirlah banking sistem yang memunculkan uang kertas dan kini
byte komputer. Ini semua buah bahwa manusia seolah yang memiliki kehendak.
Makanya muncul adagium ‘vox populi vox Dei’, suara rakyat suara Tuhan. Manusia
yang memiliki kehendak (iradah). Itulah yang harus diikuti. Kehendak rakyat
(manusia), yang berhak membuat hukum. Bukan kehendak Tuhan. Alhasil jadilah
konstitusi (constitutio), buah dari teori Rosseou, ‘le contract sociale.’
Tentu ini masalah besar pada aqidah. Karena manusia dianggap berkuasa penuh
di dunia. Kaum muslimin modernis, ikut-ikutan. Alhasil ikut merngubah aqidah.
Jadilah kemudian muncul lagi aqidah ‘bertasbih tapi tak bertanzih.’ Trilogi
Tauhid yang membuat bingung umat. Yang berujung bahwa Tuhan berada dia suatu
tempat dan menyerupai makhluk. Ketika Tuhan berada di suatu tempat, di atas,
maka seolah urusan dunia menjadi urusan manusia. Kehendak manusia. Ini tentu
melegitimasi seolah manusia berhak membuat hukum sendiri, berpolitik sendiri,
dan membuat uang dan menentukan nilainya sendiri. Ini tentu telah melanggar
fitrah Allah Subhanahuwataala.
Disinilah Shaykh Abdalqadir as sufi berkata, ‘Kurun seratus tahun terakhir
ini muslimin diberikan aqidah yang mengerikan.” Karena urusan perbuatan Tuhan
dipisahkan dengan perbuatan manusia. Padahal Allah Subhanahuwataala berfirman
dalam Al Quran Surat As Shaffat: 96,
“....Allah menciptakanmu dan perbuatanmu.”
Inilah kata kunci. Bahwa qudrah dan iradah sepenuhnya berada pada Allah
Subhanahuwataala. Perbuatan baik dan perbuatan buruk, itu juga datang dari
Allah Subhanahuwataala. Bukan dipisahkan. Shaykh Abdalqadir as sufi berkata,
“Manusia dan perbuatan tersebut tak dapat dipisahkan.”
Dari ayat ini, tentu teori filsafat tak bisa masuk. Karena perbuatan,
kehendak, daya, semuanya datang dari Allah Subhanahuwataala.
Sementara cogito ergo sum, merujuk bahwa manusia yang menentukan. Sementara
‘ration scripta’-nya Kant merujuk, semua hal harus diuji secara empiris baru
dikata ‘benar.’ Dan sistem yang kini berlaku, semuanya merujuk pada filsafat
materialisme. Disinilah problem besar pada aqidah.
Imam Ghazali sedari awal telah membagi tiga kategori filosof. Filsafat
ilahiyyun (ketuhanan), filosof tabiiyyun (naturalisme) dan filosof dahriyyun(
ateisme). Socrates, Plato, Aristoteles, Al Farabi dan lainnya tergolong sebagai
filosof ilahiyyun. Nah, fase modernitas dan post modernitas, kita berhadapan
dengan filsafat dahriyyun. Yang tak lagi merujuk pada Tuhan. Sepenuhnya
mengatakan bahwa qudrah dan iradah adalah domain manusia. Bukan Tuhan. Hingga
Voltaire pun berkata, ‘Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah
diktator, dan segala kediktatoran haruslah ditolak.” Nah, inilah yang kita
hadapi. Alhasil cara berpikir inilah yang melahirkan proses devolusi manusia.
Bukan lagi evolusi. Devolusi, dalam bahasa Darwinisme, merupakan evolusi yang
buruk pada umat manusia. Karena melahirkan generasi yang tak unggul. Untuk
supaya melahirkan generasi unggul, bak masa Ertgugrul sampai Daulah Utsmani,
tentu harus lahir dari lingkungan yang bersih. Dari civil society yang jernih.
Dan itu dibekali dengan Tauhid yang benar. Bukan Tauhid yang ‘mengerikan.’
Itulah new nomos. Itulah ‘The Entire City’ sebagai dimaksud Shaykh Abdalqadir
as sufi.
Dan Imam Ghazali sedari awal telah memberi pesan. “Tassawuf adalah jalur
paling aman dalam memahami Allah Subhanahuwataala.” Dia mengatakan, filsafat
bisa saja salah. Karena akal bisa saja keliru. Dan terbukti, filosof abad 20,
Martin Heidegger, Nietszche, Carl Smith sampai Ernt Junger, memberikan jalur
buntu akan perjalanan filsafat materialisme. Heidegger mengatakan, “Filsafat
bisa dibuat memadai dan tak memadai.” Filsafat, katanya, tidaklah berpikir.
Tentu Heidegger masuk dalam kategori yang menampik ‘cogito ergo sum’ dan
‘ration scripta’.
Dari sana tentu jalur filsafat telah tertutup. Saatnya kembali pada ahlul
sunnah wal jamaah. Kembali pada tassawuf sebagai jalur aman memahami Islam.
Disitulah aqidah dipahami dengan utuh. Tak lagi sekedar bertasbih, tanpa
tanzih. Tak semata bertanzih, tapi tanpa tasbih. Insha Allah.
Irawan Santoso Shiddiq
Mungkin itu saja dulu ya sahabat RF. Untuk selanjutnya mungkin kita bisa
diskusikan setelah membaca Tulisan ini.
Have a nice day :)
----------------------------------------------------------------------------------------------------
UCAPAN TERIMAKASIH
TERIMAKASIH TELAH MENGUNJUNGI
DAN MEMBACA ARTIKEL DI RAKYATFILSAFAT
MARI BERSAMA-SAMA MENAIKKAN
ANGKA LITERASI INDONESIA.
FOLLOW IG KITA KLIK →INSTAGRAM RAKYAT FILSAFAT
NOTE :
KAMI MENERIMA SUMBANGAN DALAM
BENTUK BUKU (SEMUA GENRE BUKU) DAN UANG SEBAGAI DUKUNGAN ANDA UNTUK
MEMBANTU KAMI MENINGKATKAN ANGKA LITERASI INDONESIA.
CONTACT PERSON
: 0822-7874-9864
WHATSAPP
: 0822-7874-9864
INSTAGRAM
: INSTAGRAM RAKYAT FILSAFAT
NO REKENING
: 0798-505-694 (BNI) A/N AMAS MAULANA
JANGAN LUPA KLIK
BERLANGGANAN/SUBSCRIBE DAN SHARE BLOG/ARTIKELNYA YA!!!
TERIMAKASIH!!!
SALAM LITERASI!!!
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI


1 Comments
bagaimana bisa filsafat dikesampingkan om?
ReplyDeleteBIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR