Ditulis Oleh Admin Rakyat Filsafat
Asas retroaktif merupakan lawan dari asas legalitas
(non-retroaktif), yaitu asas tentang batas berlakunya hukum pidana dari segi
waktu. Menurut asas legalitas tidak ada perbuatan pidana, dan juga tidak ada
pidana, kecuali atas dasar kekuatan peraturan yang telah mengaturnya, sebelum
perbuatan tersebut dilakukan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali) (Moeljatno, 1987: 25). Asas legalitas (non retroaktif) merupakan asas
utama yang digunakan dalam penerapan peraturan perundang-undangan pidana di
Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam KUHP pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Suatu
perbuatan tidak dapat di pidana kecuali berdasarkan ketentuanketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada.” Merujuk pada ketentuan asas
legalitas, suatu perbuatan, bisa dikatakan sebagai tindak pidana, jika:
1. Disebutkan atau dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan
yang tertulis. Artinya, perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam
undang-undang sebagai tindak pidana, tidak dapat dijerat oleh hukum. Jadi
dengan adanya asas ini, hukum yang tidak tertulis tidak mempunyai kekuatan
untuk diterapkan.
2. Peraturan undang-undang (aturan dan
ketentuan-ketentuan hukum yang disahkan) harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana. Artinya, hukum tidak boleh diberlakukan surut. Sebagai konsekwensinya,
perbuatan seseorang yang dilakukan sebelum dikeluarkanya peraturan
perundang-undangan yang sah, tidak dapat dijerat dengan hukum yang dikeluarkan
setelah perbuatan tersebut dilakukan (Sudarto : 1990 : 19- 20). Dari uraian
tentang penjelasan asas legalitas diatas, kiranya dapat disimpulkan bahwa asas
retroaktif adalah asas tentang pemberlakuan hukum pidana yang berlaku surut.
Dengan kata lain, perbuatan seseorang sebelum adanya aturan dan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dapat dijerat dengan hukum yang
dikeluarkan setelah perbuatan tersebut dilakukan.
Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum
pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh,
April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada
seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
Rumusan kalimat dalam RUU KUHP tahun 2005 lebih jelas dan
tegas sesuai dengan asas lex certa dalam perumusan hukum pidana yang berarti
mengutamakan kejelasan, tidak multitafsir dan ada kepastian di dalam
perumusannya. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) dalam RUU KUHP tersebut menegaskan
antara lain bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah
kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang
dituduh melakukan suatu tindak pidana. Pemberlakuan surut ketentuan pidana
hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan
perundang-undangan yang baru justru lebih menguntungkan terdakwa maka
perundang-undangan baru itulah yang diberlakukan terhadapnya.
Bertitik
tolak dari uraian mengenai hukum positif dan rancangan undang-undang hukum
pidana di atas dua hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat luas,
yaitu pertama, uraian di atas mempertegas kembali bahwa ketentuan mengenai asas
non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup
hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara
pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki
dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum
administrasi.
Penjelasan
mengenai Pasal 1 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, dan juga dalam
doktrin hukum pidana sudah ditegaskan agar tidak terjadi kesewenangan penegak
hukum (penguasa ketika itu) dalam menerapkan ketentuan pidana terhadap seorang
terdakwa. Dalam hal ini masyarakat luas harus dapat menangkap dua hal yang sangat
penting, yaitu pertama, kalimat mencegah kesewenang-wenangan penegak hokum
(penguasa), dan kedua, kalimat dalam penerapan ketentuan pidana; bukan
ketentuan (sanksi) administrasi, dan bukan ketentuan mengenai wewenang untuk
menangkap, menahan atau menuntut.
Penegasan atas dua hal tersebut hendak
memberitahukan dan menjelaskan bahwa ketentuan mengenai asas non-retroaktif
hanya dalam konteks apakah suatu perbuatan itu dapat dipidana atau tidak ketika
perbuatan itu dilakukan oleh suatu dasar aturan ketentuan pidana yang telah
berlaku ketika itu. Sehingga dengan demikian adresat dari pemberlakuan
ketentuan mengenai asas non-retroaktif adalah terhadap suatu tindak pidana
semata-mata. Seluruh uraian di atas adalah hasil analisis mengenai penerapan
penafsiran histories dan teleologis, bukan semata-mata penafsiran secara
gramatikal, sehingga jika masih ada Gurubesar Hukum Pidana atau para Hakim
Mahkamah Konstitusi dan pengamat yang masih tetap berpendirian bahwa asas
non-retroaktif itu ada dan berlaku untuk seluruh substansi bidang hukum, jelas
bahwa mereka telah melupakan arti dan makna spesialisasi yang berlaku dalam
disiplin ilmu hukum, dan juga melupakan atau mengabaikan sama sekali
metoda-metoda penafsiran hukum yang dianut dalam ajaran ilmu hukum dan telah
diajarkan sejak tingkat persiapan di fakultas hukum.
Dalam kaitan ini pula saya hendak
menegaskan bahwa sejak kelahirannya hukum pidana dibentuk untuk mengatur dan
menerapkan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang (daad-strafrecht), namun
dalam perkembangannya kemudian dengan pengaruh gerakan humanisme maka hukum
pidana juga diwajibkan mempertimbangkan seseorang yang melakukan tindak pidana,
akan tetapi ketika perbuatan itu dilakukan yang bersangkutan dalam keadaan di
bawah umur atau dalam keadaan gila, maka pemberlakuan ketentuan pidana
dikecualikan terhadap yang bersangkutan, sehingga dalam doktrin hukum pidana
muncul sebutan, daad-dader strafrecht. Jika masih ada pendapat yang membedakan
atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana
termasuk koruptor maka tidak ada lain legitimasi selain harus dinyatakan bahwa
pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau di bawah umur!.
Menurut
saya sangatlah gamblang sekali bahwa, adresat hukum pidana adalah perbuatan
seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau
status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP
telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama
sekali tentang ORANG yang melakukan perbuatan.
Jika
dalam perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait pelaku
tindak pidana termasuk para koruptor kelas kakap alias pejabat atau
penyelenggara negara, dan dengan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana
sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan
alas hukum untuk memberikan “keistimewaan” perlakuan dalam setiap tahap sistem
peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Jika dalam perkembangan praktik
penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada Guru Besar Hukum
Pidana, Hukum Administrasi Negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang
masih mengutamakan posisi atau status sosial atau status hukum pelaku tindak
pidana tidak terbatas kepada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan
sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan
tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana
di satu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan obyeknya) dan hukum
administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna spesialisasi
titik!). Sekali lagi ditegaskan di sini bahwa hukum administrasi sejak awal
kelahirannya dan juga perkembangannya di kemudian hari tidak berurusan dan
tidak ada kaitannya dengan setiap pemegang jabatan di lingkungan eksekutif,
legislatif atau judikatif atau di lembaga-lembaga negara lainnya yang menjadi
tersangka melakukan tindak pidana tertentu. Hukum Administrasi negara hanya
berurusan dengan atau mengatur tentang prosedur administrasi pemerintahan
semata-mata. Hukum administrasi negara tidak memberikan alasan hukum sekecil
apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang
telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi ditengarai
untuk memberikan “impunity” terhadap pejabat Negara atau penyelenggara negara
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Jika masih
ada UU yang memberikan keistimewaan perlakuan tersebut maka UU tersebut
bertentangan secara diametral dengan UUD 45 dan perubahannya yang menyatakan
secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan sama di muka hukum
(equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status
tersangka/terdakwa/terpidana.
Mengenai
pemberlakuan asas non-retroaktif sebagaimana telah diuraikan di atas ketentuan
hukum pidana positif , dan dalam penjelasan RUU KUHP telah ditegaskan bahwa
asas non-retroaktif adalah bersifat mutlak. Sesungguhnya jika mempelajari
referensi hukum internasional mengenai kejahatan internasional atau hukum
pidana internasional maka hukum kebiasaan internasional (international
customary law) telah mengakui bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif tidak
berlaku untuk kejahatan berat yang termasuk pelanggaran berat hak asasi manusia
(gross-violation of human rights). Contoh kasus proses peradilan Mahkamah
Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Seluruh
prinsip-prinsip hukum yang diterapkan dalam proses peradilan Mahkamah-Mahkamah
tersebut sudah diakui sebagai bagian tidak terpisahkan dari hukum internasional
dalam praktik karena seluruh putusan Mahkamah tersebut bersifat mengikat dan
diakui oleh masyarakat internasional serta seluruh terdakwa wajib menjalani
hukuman yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah tersebut.
Bagaimana pandangan para Ahli Hukum
Pidana terhadap pemberlakuan asas ini, ternyata masih belum ada kesamaan
pendapat atau pandangan di antara para ahli. Pandangan konvensional masih
menegaskan bahwa asas non-retroaktif adalah asas hukum yang bersifat mutlak
(lihat penjelasan RUU KUHP Pasal 2), dan asas hukum ini merupakan asas umum
hukum pidana dan bersifat universal. Di dalam UUD 45 dan perubahan kedua, juga
ditegaskan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khusus Pasal 28 I dengan pembatasan-pembatasan
tertentu sebagaiman telah dicantumkan dalam Pasal 28 J. Dalam referensi tentang
HAM, harus diketahui bahwa hak untuk tidak dituntut oleh undang-undang yang
berlaku surut bukan hak absolut melainkan merupakan hak relative. Sedangkan kalimat
terakhir dari rumusan Pasal 28 I UUD 45 dan perubahannya, “dalam keadaan
apapun” tidaklah sejalan dengan baik Pasal 28 J dan Pasal 29 Deklarasi
Universal HAM PBB. Di sisi lain, pandangan modern terhadap penerapan asas
non-retroaktif adalah sejalan dengan perkembangan hukum pidana internasional
dan perkembangan konvensi internasional tentang kejahatan transnasional
terorganisasi termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang
(money laundering), tindak pidana terorisme dan tindak pidana narkotika dan
perkembangan Konvensi Internasional mengenai Mahkamah Permanen Pidana
Internasional (International Criminal Court). Pendapat atau pandangan modern
abad ke-20 tentang penerapan asas non-retroaktif menegaskan bahwa sesuai dengan
perkembangan waktu dan dalam konteks kejahatan tertentu yang merupakan ancaman
terhadap perdamaian dan kemanana dunia (threaten to the peace and security of
humankind), maka pemberlakuan asas hukum non-retroaktif dapat dikesampingkan,
secara selektif dan terbatas. Dalam kaitan ini sudah diterapkan sejak proses
peradilan Mahkamah Nuremberg (1946) sampai dengan proses ad hoc Tribunal untuk
kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bekas jajahan
Yugoslavia. Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan dalam perundang-undangan
pemberantasan korupsi Indonesia sebagai pelanggaran hak ekonomi dan sosial
masyarakat yang bersifat sistematik dan meluas sehingga digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Atas dasar itulah maka
pemberlakuan surut UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sah adanya dan tidak
perlu dipersoalkan lagi. Hal ini sejalan dengan pandangan Jan Remmelink tentang
pemberlakua surut ketentuan hukum pidana di Belanda.
Pandangan
modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink (2003: 362) yang menegaskan
bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam
situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu
fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila
tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana
secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal
1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan
undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam
uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu,
undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang
yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan. Secara tegas
Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran
terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan
ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat
perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi
dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana
(strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan
hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri,
sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat
diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang
turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa dari atau
melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara
pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan
(kepatutan,pen.) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan
oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan
demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa (Remmelink, hal.367).
Diakui
pula bahwa, cara pandang konservatif dalam konteks situasi hukum transisional
masih menganut paradigma lama yaitu lebih mengedepankan asas kepastian hukum
bagi terdakwa akan tetapi mengabaikan sisi keadilan bagi korban dan sisi
kemanfaatan terbesar bagi masyarakat luas. Paradigma tersebut juga bertentangan
dengan kedudukan hukum pidana dalam pohon Ilmu Hukum yang terletak pada hukum
publik bukan hukum administrasi atau hukum perdata. Implikasi dari kedudukan
hukum pidana tersebut adalah ia harus bersifat public-rechtelijke (implisit
kepentingan negara dan masyarakat luas) dari pada privaat-rechtleijke (orang
perorangan). Selain iitu, kedudukan hukum pidana tersebut memiliki implikasi
juga terhadap pertanyaan tentang untuk kepentingan hukum siapa hukum pidana itu
dibentuk dan diberlakukan, serta untuk tujuan apa hukum pidana itu dibentuk ?
Berangkat dari sifat dan hakikat kedua pertanyaan mendasar tersebut maka –
sekalipun dengan pro dan kontra – tidaklah salah jika ditegaskan di sini bahwa,
sisi kepastian hukum harus dilihat dalam konteks sisi perlindungan hak asasi
tersangka/terdakwa yaitu kepastian hak-hak memperoleh bantuan hukum, peradilan
yang jujur dan adil, dan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang hukum
acara pidana. Namun demikian seluruh hak-hak asasi tersebut juga harus
diseimbangkan – dalam pendakwaan dan putusan pengadilan – dengan seberapa
jauhkah Negara (masyarakat luas) sudah terlindungi (asas keadilan korban dan
kemanfaatan terbanyak) dari ancaman dan bahaya perbuatan tersangka/terdakwa
yang bersangkutan, bukan hanya untuk hari ini (fungsi represif) akan tetapi
untuk calon-calon tersangka/terdakwa di masa yang akan datang (fungsi
preventif).
Dalam
konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka
secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara terkorup se-Asia,
dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun, yang sudah mencapai
50%, kiranya sudah tidak dapat ditolerir lagi pendapat yang mengatakan bahwa
korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar
biasa (extra-ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan
200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah
bersifat sistematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam Bagian
Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menegaskan antara lain;
“bahwa tindak pidana korupsi …tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”.
Bertitiktolak kepada fakta korupsi di Indonesia dan mengacu kepada hukum
positif tentang UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
maka korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi
Manusia masyarakat luas; pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa
korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau “extra-ordinary
crimes” (lihat alinea kedua baris ke-4 dari bawah, penjelasan umum UU Nomor 30
tahun 2002 tentang KPK); sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan
cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik
yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan .pembentukan dan kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan
sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam
Penjelasan Umum UU Nomor 30 tahun 2002 juga telah diuraikan antara lain sebagai
berikut: “…karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainka telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Begitu pun di dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
Bertolak
dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus
ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia sampai saat ini, maka sudah
jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR
bersama-sama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik
untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan
korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi merupakan “extra
ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas
sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan
konstitusional serta sosiologis yang kuat, teruji dan terukur untuk menegasikan
pemberlakuan asas non-retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
Atas
dasar uraian di atas maka tidak ada lagi dalih atau pertimbangan apapun untuk
menyatakan bahwa keberadaan dan keberlakuan UU tersebut tidak berlaku surut.
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI

0 Comments
BIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR