Ditulis
Oleh:
Irawan Santoso Shiddiq
Sejenak dunia melongok Istanbul. Ini kota penuh sejarah.
Beragam peradaban terpatri di sana. Napoleon Bonaperte, kaisar pertama republik
Perancis, begitu mengagguminya. Dia bilang, “Jika seluruh dunia ini adalah
sebuah negara, maka Istanbul itulah yang layak jadi ibukotanya.” Dia terkagum.
Karena Istanbul bukan kota biasa. Ada tiga peradaban besar pernah menjejak di
sana. Dari Troy (Turki bagian barat), Romawi hingga Utsmaniyya. Istanbul adalah
sebuah panorama peradaban. Kota ini kerap terbangun peradaban megah. Dan di
sana selalu tercatat titik kunci kemegahan: inilah peradaban yang tak dibangun
dengan filsafat. Melainkan dengan Tauhid.
Masa Romawi, dulu kota itu bernama Konstantinopel. Ini
ibukota Romawi Timur. Karena Romawi barat telah hancur. Dari fase okhlokrasi,
mereka menuju monarki. Romawi di Roma terbelah menjadi monarki-monarki. Muncul
kerajaan Inggris, Spanyol, Belanda, Denmark dan lainnya. Itulah fase peradaban.
Lihatlah siklus Polibios untuk menelaah. Longok juga ‘Muqadimmah’-nya Ibnu
Khaldun untuk memahami tentang siklus peradaban. Karena peradaban kerap silih
berganti. Di daratan Eropa barat, Romawi telah tamat. Tapi kekuasaan tetap
berada pada ‘raja dan Gereja’. Mereka menganut slogan ‘Vox Rei vox Dei’ (suara
Raja suara Tuhan). Raja dianggap ‘wakil Tuhan.’ Tapi alkisah Romawi tetap
terpatri di timur. Konstantinopel itu. Penulis sejarah kini, tak menyukai
atribut ‘Romawi’ berada di Konstantinopel. Karena sejak dulu antara Roma dan
Konstantinopel tak akur. Drama abad 12 berlangsung. Ketika pasukan salib yang
hendak menuju Jerusalem, berbelok arah menuju Konstantinopel. Mereka menjarah
kota itu. Ingat, drama perang salib hanya berlangsung antara pasukan ‘Gereja
Roma’ dan muslimin. Antara Romawi di Konstantinopel dan muslimin, nyaris tak
banyak benturan panjang. Karena Romawi di Konstantinopel menganut unitarian
(paham satu Tuhan). Ini berbeda dengan aqidah Trinitas yang dianut di Eropa
barat.
Alhasil sejarawan barat menuliskan mereka sebagai
‘Byzantium’. Ini keliru. Seperti yang disampaikan Ian Dallas, ulama besar dari
Eropa kini. Dia berkata, “Hampir semua sejarah agama, hasil rekaan yang
dirampungkan demi memuaskan orang-orang dan sebagai alat konfirmasi bagi
mereka, bahwa begitulah hidup yang mereka inginkan, dan bukan seperti pada
kenyataanya.” (Ian Dallas, “Perisai Achilles”, penerbit Mahkamah, 2020).
Maka, Romawi pun di ubah menjadi ‘Byzantium’. Padahal
penulisan ‘Byzantium’ baru terjadi di abad 18. Ketika sejarawan Jerman,
Hieronimus, menuliskan tentang sejarah Romawi di timur sebagai ‘Byzantium’.
Maka, sejak itulah barat kerap menyebut Romawi di Konstantinopel sebagai
‘Byzantium’.
Sementara Al Quran memiliki surat AR RUM. Ini satu-satunya
surat yang memberi nama dari suatu peradaban. AR RUM tentu saja ‘Romawi’.
Merujuk Al Quran, tentu Romawi yang dimaksud bukanlah Romawi yang berada di
Roma. Melainkan Romawi yang di Konstantinopel. Al Quran bukan menuliskannya
dengan ‘Byzantium”. Melainkan AR RUM!
Dan dalam Sunnah, Rasulullah Shallahuallaihiwassalam
mengirimkan surat resmi kepada Kaisar Romawi, Heraclius. Disitulah Romawi
bersarang. Di Konstantinopel. Lalu, Romawi resmi di taklukkan Islam masa tahun
1453. Sultan Mehmed II dari kesultanan Utsmaniyya memimpin penaklukkan.
Disitulah Konstantinopel diubah namanya menjadi Istanbul. Sebelumnya bernama
‘Islambol”. Kota ‘Islam.’
Istanbul itulah kejayaan Utsmaniyya berpandar. Utsmaniyya,
perlambang masa keemasan Islam. Lagi, sejawaran barat, orientalis, sering
meletakkan masa ‘keemasan’ Islam di era mutazilah. Era ketika Islam mengenal
sains. Ketika muslimin mengadopsi filsafat. Itulah dianggap masa keemasan.
Doktrin ini yang disusupi ke bangku sekolah-sekolah, ke kurikulum perguruan
tinggi Islam. Mereka meyakini, kejayaan Islam itu di masa mu’tazilah. Bukan di
masa Utsmaniyya. alhasil, terjadi banyak salah kaprah. Karena Utsmaniyya, sejak
era Ertugrul, Osman Ghazali, Sultan Mehmed II hingga Sultan Abdul Hamid II,
mereka sama sekali tak mengadopsi filsafat. Mereka besar dan membesar dengan
tassawuf. Karena Utsmaniyya akrab dengan zawiyya, tekke atau lodge, tempat
berdzikir. Para Sultan Utsmaniyya, selalu didampingi Ulama yang merupakan
mursyid tariqah. Disitulah ‘Umara dan Ulama’ menyatu padu. Umara itulah ‘AMR
yang memimpin syariat. Mereka para Sultan. Sementara ‘Ulama’ mereka Mursyid
yang merupakan pewaris Nabi dari silsilah tariqah. Karena di sanalah tassawuf
berada.
Kisah ini berlangsung masa kepemimpinan Sultan Murad III di
Daulah Utsmaniyya. Kisaran tahun 1574 hingga 1595 M. Kesultanan Utsmaniyya
menjadi mercusuar dunia. Kejayaan Islam berada di Istanbul. Turki kini. Masa
itu Islam berada pada puncak kejayaan. Eropa tengah berseteru soal filsafat dan
dogma. Jaman itulah rennaisance tengah dikumandangkan. Mengambil warisan
mu’tazilah. Sementara Utsmaniyya tak lagi teracuni filsafat. Penganut mu’tazilah
tak lagi bersuara. Tassawuf menggema. Utsmaniyya itulah hasil nyatanya. Tapi
Eropa yang kemudian keranjingan filsafat. Mereka memerlukan filsafat untuk
melawan dogma Gereja Roma. Sains menjadi bentuk awal dari filsafat yang
digunakan.
Di Istanbul, seorang astronom muslim, Taqi al Din, sibuk
berusaha membangun observatorium pertama. Alasannya agar Utsmaniyya juga tak
ketinggalan dari sains yang tengah meledak di barat. Karena di belantara Eropa,
nama-nama Newton, Copernicus, Galileo, Tycho Brahe, dan lainnya tengah menjadi
trending topic. Mereka menjadi buah bibir dengan sains hasil duplikasi filsafat
dari fase mu’tazilah. Masa itulah yang disebut revolusi sains di Eropa. Taqi
merasa kaum muslimin juga harus melakukannya. Dia ahli astronomi. Tariq melakukan
pengukuran gerak tahunan dari titik terjauh matahari di lingkasan angkasa yang
diukurnya sejauh 63 detik busur. Obersvasi Taqi dianggap lebih akurat dibanding
hasil pengamatan Tycho. Taqi juga mengobservasi gerakan komet 1577. Dia
berteori bahwa objek yang berapi itu lewat melintasi lingkaran planet di
angkasa. Tapi Taqi berkata, melihat komet itu sebagai tanda keberuntungan. Dan
dia memprediksi bahwa bangsa Utsmaniyya akan menang dalam perang menghadapi
orang-orang Persia yang mengancam bangkit. Ucapan ini langsung ditentang Shaykh
Hussamettin Ussaki. Beliau- adalah Mursyid-nya Sultan Murad III. Sang Mursyid
itu mengatakan pada Sultan Murad III, observatorium itu hanya akan membawa
malapetaka bagi dunia karena mencampuri rahasia alam. Karena pengamatan bintang,
lebih cenderung membawa kepercayaan pada takhyul. Mursyid memesankan, kekuatan
kaum muslimin, bukan terletak pada sains atau kekuatan akal pikiran. Melainkan
qalbu.
Alhasil bangunan observatorium itu pun dihancurkan, persis di
tanggal 22 Januari 1580. Orang-orang banyak mencibir. Tapi sang Mursyid itu
memahami. Observatorium itu bukan membawa manfaat. Tapi lebih kepada mudharat.
Dan hasilnya Utsmaniyya memang berjaya tanpa filsafat. Peradaban sepanjang 600
tahun lebih itu tak dibangun dengan pondasi filsafat. Melainkan dengan tassawuf.
Utsmaniyya tak berdiri dengan pondasi filsafat. Mereka
menolak filsafat, bukan berarti ketinggalan dalam sains. Mereka bertassawuf,
bukan berarti ‘tak berpikir’. Mereka berdzikir, bukan berarti lupa ‘berpikir’.
Karena Dinul Islam mengenal ‘dzikir-fikir-himma’. Inilah yang diajarkan
Rasulullah Shallahuallaihiwassalam.
Dzikir-Fikir-Himma menjadi satu kesatuan. Sementara dunia
filsafat, sebaliknya. ‘Fikir’ seolah menjadi segalanya. ‘Fikir’ berada di baris
depan. Fase mu’tazilah, ‘fikir’ berada di garis atas, dan alhasil kerap
melupakan ‘dzikir’. Inilah drama ketika fase mu’tazilah dalam Islam, yang tak
berbanding lurus dengan kekuatan muslimin. Masa itulah, perang Salib, pasukan
Eropa barat menyerbu. Masa mu’tazilah itulah sains Islam tinggi, tapi muslimin
kehilangan Al Quds, sebelum kemudian direbut kembali oleh sultan Salahuddin al
Ayyubi dan muslimin, yang bukan merupakan produk filsafat. Masa mu’tazilah
pula, kejayaan Andalusia tamat, padahal sains di sana sangat luar bisa di jaman
itu. Sementara Utsmaniyya membuktikan sebaliknya.
Hingga kemudian muncullah era modernisme Islam. Ini era pasca
munculnya Revolusi Perancis, 1789. Ketika filsafat, setelah masa mu’tazilah,
kemudian dipungut kaum Eropa barat. Semula mereka mendobrak dogma Gereja Roma,
kemudian melahirkan modern state. Filsafat kemudian melahirkan suatu ‘agama
baru’, kapitalisme, konstitusionalisme, liberalisme. Itulah era yang disebut
modernitas. Wabah itu yang kemudian mengular sampai Ke Utsmaniyya. Mereka berada
di ujung fase peradaban. Utsmaniyya terserang ‘the sick man’, peradaban yang
sakit. Alhasil, virus neo mutazilah masuk dan menyerang sisi dalam dan luar
Utsmaniyya. Tanzimat di Utsmaniyya memulai. Hukum syariat diganti. Mereka
merujuk pada konstitusionalisme, dan mengadopsi rechtstaat, seperti yang
diadopsi ‘republik Perancis’ pasca Revolusi di Paris. Jadilah Code Napoleon
diadopsi. Sebagai penghibur, dibuatlah ‘Al Majjalah al ahkam”, sebagai kitab
pelengkap penderita yang mengatur perihal perkawinan, waris dan lainnya, yang
tak diatur dalam Code Napoleon. Ini yang ditiru negara-negara muslim dalam
modern state. Ini yang disini disebut sebagai ‘Kompilasi Hukum Islam.” Tentu
itu bukan ‘syariat.’
Dari tanzimat, 1840, kemudian memuncak pada 1924. Ustmaniyya
secara kesultanan dibubarkan. Dan resmi bermerek ‘modern state’ Turki. Setahun
kemudian, Hagia Sophia, simbol kebesaran peradaban, pun diubah fungsinya. Masa
Romawi, itu sebuah Gereja. Ditaklukkan muslimin, kemudian diubah menjadi
masjid, di era Utsmaniyya. ketika Utsmaniyya ‘ditaklukkan” modern state, maka
diubah kembali menjadi museum.
‘Basyirah’ muncul dua hari lalu. Hagia Sophia kembali menjadi
masjid. Ini pertanda kembalinya Dinul Islam. Insha Allah.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI
0 Comments
BIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR