Istilah Mafia
Istilah Mafia berasal dari bahasa Italia, di pulau Sisilia mafia disebut
juga dengan istilah Mafioso, sedangkan di Napoli dan sekitarnya mafia dikenal
dengan istilah lain yaitu, Camora.
Mafia, Mafioso maupun Camora suatu istilah yang mempunyai konotasi
negatif, dimana suatu kelompok yang terorganisir (biasa disebut juga dengan
istilah cosa nostra) didalam kegiatan untuk mencapai tujuannya selalu
menggunakan alat dan disertai dengan kekerasan phisis (teror), fisik dan
sekaligus merusak barang dan menghilangkan jiwa orang lain.
Awalnya gerakan mafia lahir di Italia bagian selatan, antara lain di pulau
Sisilia dan pulau Sardinia serta kota Napoli. Ini berawal pada saat Italia bagian
selatan dikuasai oleh daulah/kesultanan Ottoman yang berpusat di Turki.
Kekuasaan Ottoman di Italia Selatan ini mendapat reaksi dari kaum puritan di
Italia Selatan yang tidak mau berada di bawah kekuasaan Ottoman, sehingga
melakukan perlawanan dengan membentuk kelompok-kelompok klendestein. Dengan tujuan membebaskan diri dari kekuasaan Ottoman. Untuk mencapai
tujuannya kaum klendestein menggunakan alat perjuangan dari mulai gerakan
rahasia di bawah tanah, sampai gerakan bersenjata yang melakukan perampasan
harta benda maupun pembunuhan terhadap orang yang dinilai musuh atau yang
menghalangi pembebasan Italia bagian selatan dari daulah/kesultanan Ottoman.
Pada akhir abad ke-18 setelah Italia bagian selatan berhasil membebaskan diri
dari kesultanan Ottoman, kelompok-kelompok klendestein ini tetap melakukan
gerakannya, yaitu dengan melakukan perampasan harta benda dan pembunuhan
terhadap lawan-lawan yang dinilai musuhnya. Setelah Italia bagian selatan
membebaskan diri dari kesultanan aOttoman, gerakan klendestein ini dinilai oleh
Pemerintah Italia sendiri sebagai gerakan ilegal dan gerakannya dinilai
perbuatan yang melanggar hukum sehingga dilarang dan diperangi oleh Pemerintah Italia. Namun demikian gerakan klendestein yang berubah namanya
menjadi mafia ini tetap melakukan gerakan berupa perampokan dan
pembunuhan terhadap sasaran-sasaran yang dinilai menghalangi usahannya.
Pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan dibukanya benua Amerika
bagian Utara bagi para imigran, dari Italia Selatan pun berbondong-bondong
para imigran menuju tanah impian Amerika Utara. Tidak kecuali para aktivis
dari kelompok klendestein beserta keluarganya. Para imigran dari Italia bagian
selatan ini menempati kantong-kantong pemukiman yang tersebar di Amerika
Utara khususnya Amerika Serikat yang sedang tumbuh. Antara lain di wilayah
New York, San Francisco, Detroit City, Chicago, Baltimore, Dallas Texas,
Kansas City dan Pittsburry dan wilayah-wilayah lain yang pada umumnya
dihuni oleh kaum Latin Europe-Italian dan Hispanic seperti Los Negros,
Nevada, Tuscan dan Arizona. Sudah barang tentu kelompok klendestein dari
Italia Selatan ini di wilayah barunya membawa kebiasaan hidup dan kulturnya
termasuk karakter mafioso dan campora yang biasa dilakukan di tempat asalnya
yaitu Pulau Sisilia dan Pulau Sardinia serta kota Napoli. Sejalan dengan
perkembangan zaman kelompok klendestein berkembang di Amerika Serikat
dan lebih dikenal sebagai kelompok gangster mafia komunitas ini membentuk
sindikat kejahatan, tiap komunitas yang masing-masing anggotanya kebanyakan
masih punya ikatan keluarga, disebut cosa nostra dipimpin oleh seorang good
father dengan sebutan Don
Di dunia, kelompok mafia bukan saja yang berasal dari Italia Selatan
tapi ada kelompok mafia lain. Di China kelompok mafia dikenal dengan istilah
Tong, sedangkan di Jepang disebut Yakuza, sejarah terbentuknya hampir sama
dengan mafia yang lahir dan tumbuh Italia Selatan, begitu juga wilayah serta
segmentasi kegiatannya bukan cuma di bidang ekonomi -mafioso sendiri secara
leterlijke artinya adalah kelompok bisnis-, politik, sosial dan budaya tapi sudah
merambah ke bidang yamg paling sensitif yaitu bidang hukum, mafia, mafioso,
campora, tong dan yakuza sudah sejak lama merambah ke ranah peradilan,
dalam peradilan di Indonesia dikenal akhir-akhir ini istilah mafia peradilan.
Mafia Peradilan di Indonesia
( Email for Klaim Credit ) |
Dalam praktek mafia peradilan yang beroperasi di lingkungan penyidik
kepolisian, pratek ini berupa permintaan uang jasa sebagai syarat agar laporan dapat ditindaklanjuti; penggelapan perkara berupa penghentian perkara setelah
adanya pembayaran sejumlah uang kepada polisi; negosiasi perkara berupa
tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka dengan membayar
sejumlah uang dan berupa penundaan surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan kepada kejaksaan; pemerasan oleh polisi, berupa penganiayaan
terhadap tersangka agar kooperatif dan memberikan uang dan mengarahkan
kasus lalu menawarkan jalan damai; pengaturan ruang tahanan yang didasarkan
pada besar kecilnya uang yang dapat diberikan tahanan.
Di Kejaksaan, menurut ICW, praktik serupapun terjadi mulai dari
pemerasan, negosiasi status tahanan, pelepasan tersangka, penggelapan perkara,
negosiasi perkara dan pengurangan tuntutan. Demikian juga dalam persidangan,
mulai dari permintaan uang jasa untuk registrasi perkara di pengadilan,
penentuan majelis hakim dengan menggunakan jasa panitera pengadilan,
negosiasi putusan baik di tingkat kasasi atau peninjauan kembali. Sedangkan di
tingkat Lembaga Permasyarakatan, terjadi praktik-praktik pungutan bagi
pengunjung, adanya uang cuti dan adanya perlakuan istimewa kepada
narapidana yang mampu membayar.
Sejarah mafia peradilan sudah di mulai sejak lama, yaitu sejak zaman
orde lama dimana presiden waktu itu Bung Karno yang mempunyai kekuasaan
begitu besar di dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya juga
termasuk bidang hukum tidak terkecuali di bidang peradilan. Didalam Undangundang Pokok Kehakiman pada waktu itu menyebutkan bahwa : “Presiden
mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi putusan hakim pengadilan”.
Kondisi ini berakhir ketika lahir Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang dalam salah satu pasalnya
menyebutkan bahwa : “kekuasaan kehakiman bebas dan merdeka, tidak dapat
dicampuri oleh pihak lain”, dengan makna yang sama hal ini tersurat dan
tersirat pula dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kehakiman, yang berbunyi :
"Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia"
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang sebelum lahirnya
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan Undang-undang No. 4 Tahun 2004,
dimana Presiden dapat ikut campur mempunyai dampak yang negatif dalam law
enforcement saat itu. Karena sering kali putusan-putusan pengadilan
dipengaruhi oleh lembaga kepresidenan, parlemen, kekuatan-kekuatan politik,
penguasa sehingga putusannya jauh dari objektif serta tercapainya rasa keadilan
pada masyarakat. Lebih parah lagi ketika kepentingan-kepintingan itu bukan
hanya kepentingan politik, akan tetapi kepentingan pribadi, ekonomi, golongan
dan cara-cara yang digunakan tidak dengan pendekatan kekuasaan tetapi juga
dengan kekuatan ekstra parlementer dengan modus kolusi, korupsi (suap) dan
nepotisme (primordial dan sektarian) dan cara-cara ini pada umumnya tidak
dilakukan oleh pihak penguasa formal, tapi dipergunakan oleh pihak diluar itu
diantaranya oleh para mafioso. Akahir-akhir ini praktek para mafioso di
peradilan diperankan oleh para makelar kasus (markus).
Praktek-praktek ini tidak banyak berubah walaupun sudah ada ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dan terakhir dengan Undang-undang
pokok kekuasaan kehakiman UU No. 4 tahun 2004 bahkan di era reformasi
dimana law enforcement digalakan, praktek-praktek di atas tidak berkurang
malahan makin marak dan menjadi-jadi tidak saja dilakukan oleh pelaku-pelaku
yang berposisi informil tapi juga para petugas formal, seperti aparat penegak
hukum.\
Beberapa contoh kasus mafia peradilan yang pernah terjadi dan
menonjol serta mutakhir, dapat di sampaikan seperti kasus penyuapan dalam
pada tahap penyidikan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
melibatkan Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani, kasus rekayasa tindak
pidana korupsi pada tingkat penyidikan dalam perkara atas nama tersangka
Bibit Samad Ryanto dan Chandra M. Hamzah yang melibatkan makelar kasus
Anggodo Widjoyo, dengan cara merekayasa dalam bentuk kolusi belakangan
kasus ini di pra peradilankan oleh pihak ketiga yaitu Anggodo dan ternyata
pengadilan negeri mengabulkan permohonan Anggodo sehingga Bibit dan
Chandra perkaranya harus dilimpahkan ke Pengadilan. Last but not lease kasus
yang paling aktual yaitu kasus dalam perkara penggelapan pajak oleh terdakwa
Gayus Tambunan yang dilaporkan oleh Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji
yang melibatkan para pejabat di Dirjen Pajak dan para aparat penegak hukum
sebagai tersangka. Ini beberapa kasus yang menonjol di dalam praktek mafia peradilan. Sudah barang tentu lebih banyak lagi kasus mafia peradilan yang
tidak ditampilkan dalam tulisan ini karena keterbatasan ruang.
Apa yang diungkapkan dalam contoh kasus yang ditampilkan tersebut
di atas semuanya adalah dalam perkara korupsi. Karena praktek mafia peradilan
terjadi pada semua tahapan peradilan dan penanganan serta penyelesaian
perkara dan terjadi hampir pada semua perkara tindak pidana maupun perdata
dan tata usaha negara. Namun demikian, yang lebih banyak terjadi pada
kasus/perkara tindak pidana korupsi.
Ada satu konklusi bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan budaya
dan kebudayaan, sulit untuk melakukan pemberantasannya. Ini suatu keadaan
yang sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup negara dan bangsa
Indonesia. Karena korupsi merupakan bahaya yang sulit pemberantasannya,
maka korupsi disebut juga bahaya laten.
Namun, demikian menyikapi keadaan di atas negara, pemerintah tidak
tinggal diam. Segala usaha untuk pemberantasan, pencegahan atau paling tidak
mengurangi korupsi yang menimbulkan mafia peradilan telah dilakukan dari
mulai langkah-langkah preventif sampai dengan langkah represif, dari mulai
langkah strategis sampai langkah pragmatis. Langkah represif antara lain
dengan mulai membentuk atau mengundangkan undang-undang tindak pidana
korupsi mulai Undang-undang No. 3 Ttahun 1971 sampai membentuk lembaga
super body seperti KPK berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2003.
Begitu juga langkah-langkah preventif atau pencegahan telah dilakukan.
Adapun langkah pencegahan strategis yang dilakukan adalah dengan
memperbaiki pilar-pilar penegakan hukum tindak pidana korupsi, yaitu
memperbaiki sistim perundang-undangan tindak pidana korupsi yang sudah
ketinggalan zaman, tidak aspiratif diperbaharui dengan perundang-undangan
yang mutakhir dan aspiratif. Kemudian membangun aparat penegak hukum
(penyidik, penuntut umum, hakim) yang mumpuni dan mampu menanggulangi
kejahatan tindak pidana korupsi juga meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat akan bahaya korupsi dan mematahkan korupsi sebagai budaya.
Disamping ketiga aspek di atas perlu juga diperhatikan aspek
keteladanan, yaitu: harus ada keteladanan yang dicontohkan oleh para pejabat,
khususnya para birokrat didalam kehidupan sehari-hari. Selama ini ada satu
stigma didalam dunia birokrat bahwa banyak para birokrat yang mempunyai
sifat hedonis dan konsumtif dalam kehidupan sehari-hari. Harus diciptakan satu
keteladanan dari para birokrat, dimana para birokrat mempunyai sifat sederhana
di dalam kehidupan sehari-hari sehingga hal ini akan di teladani oleh masyarakat, hal ini pun akan mengurangi atau mencegah timbulnya korupsi,
yang menimbulkan chaos di dunia peradilan.
Langkah-langkah tersebut di atas sudah lama ditempuh negara, akan
tetapi ternyata hasilnya tidak signifikan. Pemerintah seperti kehilangan harapan
dan masyarakat hampir apatis menghadapi kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime) korupsi ini.
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI
0 Comments
BIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR