Ditulis Oleh: Irawan Santoso Shiddiq
Ini kisah masa pra ‘state.’ Sebelum dikenal yang namanya ‘state’. Ingat, ‘state’ baru dikenal sejak pasca Revolusi Perancis, 1789. Lebih tepatnya ‘modern state’. Hans Kelsen mendudukkan seolah setiap ‘masyarakat’ itu disebut ‘state’. Tentu itu keliru. Karena ‘state’ baru mewabah semenjak Revolusi Perancis yang kemudian seantero dunia. Dari ‘Il Principe’-nya Machiavelli hingga ‘Le contract sociale’-nya Rosseou. Dari sanalah sanad ‘state’ muncul. Hingga kemudian diterjemahkan menjadi ‘negara.’ Oleh entah siapa. Padanan kata yang mungkin tak serupa dan tak sama. Maka, perlulah kita melongok masa sebelum adanya ‘state.’
Tanggal 15 Juni 1215. Ini dianggap penting. Di sebuah desa Kerajaan Inggris, Runnymeede. Kejadian besar terjadi. Manusia modern kemudian memuja peristiwa itu. Tentang ditandatangani kesepakatan antara 25 baron dengan Raja John, raja kerajaan Inggris. Dokumen itu dikenal Magna Charta. Manusia modern menganggap, dokumen itu peletak dasar human right. Padahal bukan. Ian Dallas, ulama besar dari Inggris kini, mengatakan sebenarnya. Magna Charta itulah pertanda kehadiran Ordo Ksatria, penegak Kebenaran di belantara Inggris. Mereka berpegang teguh pada ‘kehormatan’ (virtue). Mereka penjaga Kebenaran ajaran Isa Allaihisalam. Dan mereka bertentangan dengan Gereja Roma. Ordo Ksatria menjunjung ‘Kebenaran’ berlandaskan agamanya. Karena terjadi banyak tafsir pembelokan. Mereka bertahan. Lalu darimana mereka belajar dengan ‘virtue’ yang wajib dipertahankan? Ternyata ini berhubungan dengan Sultan Salahuddin Al Ayyubi. Masa Perang salib terjadi.
Ian Dallas menggambarkan apik dalam kitabnya, ‘The Interim is Mine’ (telah terbit edisi bahasa Indonesia). Suatu latar belakang yang tak diketahui. Tentang Magna Charta yang berhubungan dengan Sultan Salahuddin dan muslimin kala itu.
Ian Dallas menggambarkan,
“Dalam salah satu pertempuran Tentara Salib dengan Sultan kaum Muslimin yang agung, Salahuddin al Ayyubi, atau orang-orang Kristen memanggilnya, Saladin, seorang Kesatria yang ditahan kemudian ditebus. Selama ditahan, dia bertemu dan makan malam bersama muslim yang menangkapnya. Mereka berbicara. Dalam pembicaraan mereka, Salahuddin mengajak tahanannya itu kembali ke etos Ksatria mereka. Begitulah keharmonisan diantara mereka hingga setelah Salahuddin membawanya ke dalam keyakinannya, dia kemudian melepaskan mereka agar mereka bisa menyebarkan kepada sesama Ksatria, tentang akar kekesatriaan perang dan perdamaian dalam Islam. Salahuddin membayar kepada wazir-nya uang tebusan Ksatria itu. tentu saja, hierarki Romawi yang ketakukan mengambil buktinya dan menulis ulangnya sebagai risalah Kristen, yuang menyiratkan bahwa Tentara Salib sedang mendidik panglima perang Muslim.”
Salahuddin memberi ajaran tentang ‘futtuwa.’ Itu yang kemudian disebut ‘virtue’. Romawi era klasik, memiliki ‘virtue’. Kebajikan. Tentang bagaimana seorang manusia menjaga kehormatan (nobile). Hidup dalam kebajikan. Seneca menceritakannya. Tacitus menggambarkannya. Lucan pun tak lepas dari catatannya tentang hadirnya ‘virtue’ bagi kaum Eropa,. Masa pra ‘state’ tadi. Tapi kemudian Machiavelli sempat mengubahnya. ‘Virtue’ berubah menjadi nafsu syahwati, bahwa seorang raja boleh bertindak bak singa yang kejam dan kancil yang cerdik kala berkuasa. Inilah ‘virtue’ ala “Il Principe.”
Dari catatan Dallas, nampaklah bagaimana hubungan intens antara muslimin dan para Nasrani, yang kemudian melahirkan Ordo Kesatria di Eropa. Dramawan kesohor, Christopher Marlowe, mengkisahkan pertemuan itu dalam dramanya. Hasil dari ekspor futtuwa ke Eropa. Itulah yang melahirkan Dinasti Tudor di Kerajaan Inggris. Epos film Robin Hood, menggambarkan sesosok muslim yang mengajarkan segala hal bagi Robin, dalam memerangi kejahatan Raja dan orang kaya yang tamak. Begitulah munculnya Ksatria, pengajaran dari futtuwa. Dari situlah kemudian terbentuk Ordo Ksatria.
Mereka muncul dari bibit templar, sebagai penjaga Kebenaran. Masa itu Gereja Roma sangat dominan. Dogma yang digencarkan bak aqidah ‘jabbariyya’ dalam Islam. Sesiapa menentang Gereja Roma, maka dikenakan hukuman. Adagium yang berkembang pun masih ‘vox Rei vox Dei’ (Suara Raja Suara Tuhan). Raja dianggap mewakili Tuhan, yang tak boleh disanggah. Raja dianggap selalu benar. Hingga mencuat klausa “the king can do no wrong.” Pasal ini yang kemudian menimbulkan perlawanan dari para Ksatria.
Selepas mereka mendapatkan pengajaran futtuwa dari Salahuddin, Ksatria bergerak menentang tirani Raja. Klimaksnya kala Raja John menaikkan pajak, menebangi hutan, pemenjaraan tanpa bukti, dan lainnya. Para baron bergerak. Baron itulah kaum Ksatria yang telah mendapatkan pengajaran virtue. Mereka memerangi Raja John. Menentang dogma ‘vox Rei vox Dei’ tadi. Mendobrak doktrin Gereja Roma. Alhasil Raja John menyerah. Dia pun bersedia berunding di Runnymede, pedalaman Inggris. Disitulah disepakati antara para Ksatria dan Raja. Itulah Magna Charta.
Dokumen akhir Magna Charta adalah simbol kode ke-Kesatriaan. Kesepakatan Raja dan para Ksatria itu menuai kecaman Gereja Roma. Paus Innosensia III tidak senang. “Memalukan, illegal, dan tidak adil,” kata sang Paus kala itu, sebagaimana dikutib Dallas dalam ‘The Interims is Mine.”
Tapi kaum modern, pasca Revolusi Perancis, seolah mendudukkan Magna Charta sebagai pondasi lahirnya human right. Padahal bukan ke sana arahnya. Melainkan tegaknya ‘virtue’, kehormatan, nobility, yang itu adalah futtuwa. Islam yang mengajarkannya. Tauhid menjadi pondasinya. Human right hanya defenisi dari filsafat tentang manusia. Makanya menjadi “kemanusiaan.” Sama halnya dengan manusia mendefenisikan Tuhan, maka menjadi ‘ketuhanan’. Tentu “kemanusiaan” dan ‘Ketuhanan’ berbeda dengan Tuhan dalam makna Illahi. Disitulah kerancuan antara filsafat dan ahlul futtuwa.
Karena seiring futtuwa menembus Eropa, buah ekspor dari Salahuddin, filsafat juga terekspor ke belantara benua biru. Filsafat dari Andalusia, di bawa Aquinas ke Eropa. Yang semula memang digunakan untuk melawan dogma ‘jabbariyya’ Gereja Roma. Filsafat kemudian berbenturan dengan kaum Ksatria yang bertemu dengan kaum Cecil, merekalah dari ordo uang, mereka kaum bankir. Tapi jaman itu, Gereja Roma mendapatkan banyak serangan. Dari satu sisi, kaum Ksatria ikut melancarkan perlawanan. Tapi mereka berusaha menjadi pendamping Raja. Sementara satu sisi filsafat juga melancarkan perlawanan pada dogma Gereja Roma. Alhasil mencuat banyak perlawanan atas kedigdayaan Gereja Roma. Vox Rei Vox Dei pun mendapatkan ancaman dari segala sisi. Inilah situasi Eropa masa itu.
Kaum Ksatria muncul tanpa henti. Melahirkan dinasti Plantegenet di Inggris. Kemudian menyebar ke Perancis. Ordo Ksatria menentang Gereja Roma. Mereka digaris depan melawan dogma ‘the king can do no wrong’. Para Ksatria terikat sumpah. Bak kisah Arthur, pendiri kerajaan Inggris. Mereka dari kaum Ksatria penegak Kebenaran. Melindungi rakyat dari penindasan Romawi Roma. Ordo Ksatria kemudian kembali lagi. Generasi dari Arthur hidup kembali. Selepas ajaran Isa Allaihisalam melanda Eropa, kaum Ksatria kembali datang. Menjaga Kebenaran. Karena beberapa abad kemudian terjadi banyak penyimpangan. Perihal aqidah, yang kemudian berdampak pada penetapan hukum. Ingat, masa itu Eropa bak terlanda ‘jabbariyya’-nya Gereja Roma. Dari situlah melahirkan Raja dan Gereja yang seperti bak ‘umara dan ulama’. Tapi mereka tak boleh salah. Segala titah Raja, dianggap wajib dipatuhi. Padahal monarkhi telah berubah menjadi tirani. Ketiranian itulah memunculkan perlawanan. Ordo Ksatria hadir, mengambil semangat Arthur. Dan mereka mendapat pengajaran kembali dari Salahuddin al Ayyubi. Tentang bagaimana menjadi ‘ahlul Kebenaran’. Ahlul Virtue. Itulah Ordo Ksatria, yang terikat sumpah dalam ‘meja Bundar.’ Itu yang disebut ‘Ehrentisch’. Meja Kehormatan. Semangat ‘Ehrentisch’ ini yang ditonjolkan Ordo Ksatria.
Kesetiaan, kehormatan, diikat dalam sumpah Ksatria. Salahuddin mengajarkan tentang Kisah Pemuda Al Kahfi, Sahabat Gua. Inilah muasal ahlul futtuwa, penentang kemusyrikan. Mereka penjaga Kebenaran. Berkumpul bersama, demi Kebenaran.
Ian Dallas mencatatkan generasi terakhir dari Ksatria. Dialah Robert Deveroux, Earl of Essex kedua. Dia seorang bangsawan. Jago dalam berperang. Dan lihai dalam melakukan perlawanan terhadap musuh. Essex itulah generasi keempat dari ordo Ksatria, hasil didikan Salahuddin.
Robert Deveroux berteman akrab dengan Antony Bacon, adik dari Francis Bacon. Dialah filosof yang ikut mendobrak dogma Gereja. Bacon menelorkan teori ‘Aku Ada (being) maka Aku Berpikir (thinking)’. Satu sisi pertarungan antara Deveroux dan Bacon pun mencuat. Essex sempat menasehati Bacon, “Jangan menilai drama dari babak awalnya saja,” katanya. Ini ketika Essex dikenakan hukuman mati oleh Ratu Elisabeth, buah dari perlawanan atas tirani sang Ratu. Essex menuliskan surat kepada Bacon, tentang bagaimana sikapnya atas perlawanan tirani Ratu. Karena Ratu Elisabeth menghukumnya digantung. Sebab Essex dianggap menghinanya. Essex tegas menyatakan keputusan Ratu salah, di depan para bangsawan lainnya. Essex tegas dan keras. Dia mempertahankan Kebenaran.
Menjelang eksekusi, Essex disarankan meminta maaf. Bacon, sahabatnya, juga mengajurkan demikian. Tapi Essex menulis, “...ketika penghinaan yang dilakukan kepadaku, apakah agama memaksaku untuk menuntut? Apakah Tuhan membutuhkannya? Apakah tidak sopan jika tidak melakukannya? Apa, tidak bisakah Raja keliru? Tidak bisakah dia menerima kesalahan? Apakah kekuatan dan otoritas duniawi tak terbatas? Maafkan, maafkan saya tuan yang baik, saya tidak bisa menerima prinsip-prinsip seperti itu...”, tegas Essex.
Itulah wujud virtue yang ditunjukkan Essex. Sampai akhir hayatnya, dia mempertahankan futtuwa. Kehormatan. Dia mati digantung dengan Kehormatan. Matinya Essex, matilah ordo Ksatria di Inggris dan Eropa. Lenyaplah penjaga Kebenaran. Penegak virtue.
Alhasil virtue tinggal nama. Karena telah dibelokkan namanya. Ratu Inggris pun tak lagi dikawal ordo Kesatria. Oposan Kesatria, itulah ordo Cecils. Mereka penggila harta. pemuja kekayaan. Mereka penggiat uang. Disinilah Ratu Inggris berjumpa dengan ordo Cecils di sebelahnya. Alhasil Revolusi Inggris, 1668, Inggris pun berubah. Tak ada lagi ordo Kesatria, tak ada lagi penjaga Kehormatan. Ordo Cecils menguasai, mereka berada di balik layar pengendali raja. Raja William of Orange naik tahta. Kaum Cecils bermetamorfosir menjadi kaum bankir. Mereka meminjamkan uang pada raja William. Senilai 25 juta Pounds emas. Tapi ordo cecils minta satu hak: mengendalikan keuangan Inggris. Maka berdirinya Bank of England. Inilah bank sentral pertama di dunia. Raja pun menjadi kreditur bankir. Sejak itulah ordo Cecil berjaya. Para bankir. Dan, tak ada lagi Magna Charta. Hanya tinggal nama.
Raja berduet dengan bankir. Gereja Roma disingkirkan. Ordo Ksatria dimatikan. Inggris berubah menjadi negeri bankir. Seabad kemudian merambah ke Perancis. Raja Louis XVI digantung. Revolusi Perancis, 1789. Kaum borjuis dan jacobin bersatu. Memberontak melawan Raja dan Gereja. Disitulah ‘state’ lahir dan dikumandangkan. Mereka seolah menggunakan Magna Charta, semangat perlawanan pada Raja. Padahal bukan. Alhasil Eropa dikendalikan ordo Bankir. Tak ada lagi Kesatria. Tak ada lagi penjaga Kebenaran.
Seabad kemudian, virus ordo Bankir merambah seantero dunia. selepas memporak-porandakan Inggris, Perancis, kemudian mereka mewabah hingga Utsmaniyya. Tanzimat di Utsmaniyya, 1840, pertanda masuknya Ordo Bankir ke negeri-negeri muslim.
Kaum bankir tak lagi menggunakan ‘virtue’. Tak ada Kehormatan. Karena hanya berlaku hasrat dunia. Nietszche menyebutnya sebagai ‘will to power’. Hasrat berkuasa segala arah. Ini yang ditentang Ordo Kesatria sejak mula. Mereka melawan ordo Cecils, penggila harta.
Ordo Ksatria lahir dari didikan Salahuddin al Ayyubi. Inilah yang melahirkan kembali masa kejayaan Islam. Salahuddin, yang mengembalikan lagi Al Quds, sejak lepas dari pangkuan muslimin. Kapan Al Quds bisa lepas? Sejak muslimin mengadopsi filsafat. Seiring mencuatnya filsafat di Islam, lahirlah mu’tazilah. ini koalisi antara aliran qadariyya (bukan ‘Qadirriyya’), dengan filsafat. Maka lahirlah mu’tazilah. Inilah masa agak kelam dalam Islam. Karena sains yang tinggi, buah dari filsafat, membuat Al Quds lepas dari kekuasaan Islam. Dan, kemudian salahuddin hadir dengan muslimin yang tak lagi mengadopsi filsafat. Salahuddin muncul buah dari pengajaran kembali tassawuf, yang mencuat dari Imam al Ghazali dan Shaykh Abdalqadir al Jilani. Mereka menyelamatkan aqidah muslimin dari pengaruh mu’tazilah, filsafat. Salahuddin merupakan produk tassawuf. Karena disanalah futtuwa di ajarkan. Produk itu yang melahirkan keKesatriaan di Eropa. Kala Ksatria hilang, Erropa pun menggila berubah menjadi kekuasaan kaum bankir. Karena di Eropa mereka kembali mengadopsi filsafat, selepas dibuang dari belantara Islam. Selepas mu’tazilah, lahirlah rennaisance. Alhasil mencuat pada modernitas. Inilah yang meluluhlantakkan dunia kini.
Tapi ordo Ksatria akan kembali. New nomos. Karena periode kekuasaan bankir akan berakhir. Kembalinya tassawuf. Inilah bekal menuju kekuasaan Islam. Karena di sana tersimpan darah Kehormatan, kesetiaan sampai ke-Ksatriaan. “Futtuwa is tassawuf, ma’rifatullah is secret, “kata Shaykh Abdalqadir as sufi.
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI
0 Comments
BIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR