ZAINAL ABIDIN DAN ERA MILLENIAL (EPS 01)



OLEH ALI IRWANSYAH

Tiada yang istimewa hari itu,seperti biasa pukul 6 pagi aku sudah siap dengan segala kelengkapan,untuk  berangkat sekolah.Hanya saja ayah ku terlihat rapi sekali,begitu mau berangkat sekolah di depan teras,ku lihat ayahku,dengan pakaian yang sudah rapi.pasti ayah mau ke kota(pikirku).maklum desa ku, seperti kabanyakan desa-desa pada umumnya yang identik dengan keterbatasan(katakanlah dari segi industri) semisal pakaian,peralatan rumah tangga, moda transportasi,yang hanya di dapat di kota.Ketergantungan desa akan kebutuhan-kebutuhan industri memang tidak dapat di pungkiri lagi.


Sepeda motor misalnya,yang pada awalnya di desaku merupakan barang mewah ya jika di klasifikasikan masuk dalam kategori kebutuhan tersier,lambat laun seiring hegemoni industri akhirnya sepeda motor di desaku menjadi kebutuhan primer.mau tidak mau,sanggup tidak sanggup,tapi begitulah faktanya di desaku dan desa desa pada umumnya.

Dengan persiapan yang sudah lengkap seraya berpamitan dengan ayah,akupun berangkat ke sekolah,di jalan aku pun langsung berjumpa dengan kawan sekolah,berjalan beriringan,layaknya segerombolan unggas yang akan memasuki kandang. Di gerombalan itu ada yang riang,ada yang tertawa-tawa dengan lelucon, dan ada pula yang sibuk bertanya siapa yang belum selesai tugas sekolah biasalah mencari kawan senasib sepenanggungan.Dan pagi itu aku masuk dalam kelompok yang sedang asik berlelucon sambil tertawa.


Hari itu merupakan hari pertama kami masuk sekolah,setelah sekian lama libur panjang.aku yang sudah duduk di kelas 3 SMA. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat 11 tahun yang lalu tepat pada tahun 1989 ayah mengawani aku yang masih kanak-kanak untuk mendaftar sekolah dasar ya begitulah berdasarkan tahun sudah cukup lama,namun 11 tahun itu serasa baru kemarin.

Aku bernama zainal,anak pertama dari 6 bersaudara,tinggal di belahan dunia terpencil,dalam keluarga sederhana,sebagai anak lelaki pertama,keluargaku sangat berharap kepadaku akan adik adik ku.ayah selalu berpesan kepadaku di waktu waktu senggang ketika kami bercerita-cerita agar kelak ketika ayah dan ibu tiada aku harus bertanggung jawab kepada adik-adik ku,ayah ku memang sudah tua, 68 tahun umurnya.


Sudah 4 tahun belakangan ayahku sakit-sakitan kudengar ayah ku mengidap kanker,dan menurut seorang dokter rumah sakit tempat ayah berobat mengatakan umur ayah ku tidak lama lagi,yang sejak empat tahun terakhir menjadi bayang-bayang yang selalu menghantui ku,kadang aku berkhayal lalu menangis sendiri di kamar ku tempat biasa aku merenung.kala aku sendiri di kamar tidur ku aku memang sering berimajinasi liar,angan-angan dan khayalan tanpa batas, imajinasi memang satu bentuk kemerdekaan setiap insan,yang tak pernah terbelunggu oleh apapun.


1.20 bel sekolah ku pun berbunyi penanda waktunya pulang,dan aku pun secepat kilat,tunggang langgang meninggalkan kelas sesikit berlari tanpa menghiraukan kawan-kawanku selain lapar di perut yang membuat ku ingin segera di rumah,adalah melihat apa yg di bawa ayah sepulang dari kota,karena ayah biasanya membawa barang-barang baru kerumah ketika bepergian ke kota.dua puluh menit waktu yang kuhabiskan diperjalanan untuk sampai di rumah.


Setiba di rumah ku lihat lah barang baru yg di beli ayahku sebuah tiang tinggi menjulang di samping rumah ku tertancap. terakhir ku tahu nama nya antena.yang membuat ku bingung dan kecewa akan barang yang di beli ayahku karena aku pikir apa gunanya sebuah besi panjang,bukankah begitu banyak bambu-bambu diladang yang tak kalah panjang dengan tiang besi itu.


Tak berapa lama pikiran ku tentang tiang tak berguna itu pun terbantahkan ternyata tiang(antena) yang di bawa ayahku itu adalah alat pembuat sinyal untuk benda yang di sebut telephone sebuah alat komunikasi suara yang membuat orang dapat terhubung meski berjauhan bukan main riang nya hati ku saat itu,di tambah lagi ayahku membeli sebuah mesin yang dapat yang menghasilkan listrik yang dapat menghidupkan benda benda kuning yng di beri nama lampu.


Kecanggihan alat-alat yang dibawa ayahku dari kota membuat ku merasa sial hidup tinggal di belahan dunia terpencil yang aku sebut,kami sebut desa. Alangkah hebatnya kota, gumam ku dalam hati.



TUNGGU KELANJUTAN NYA DI EPS 02



BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI

Belajar Ilmu Hukum Disini

Post a Comment

0 Comments

Iklan