Ini peristiwa berdarah di Paris, Perancis, 1789 lalu. Masa ketika kaum nasionalis mengkudeta kaum agamawan dan bangsawan. Karena kekuasaan sebelumnya dipegang kaum agamawan dan bangsawan. Tapi keadilan tak lagi terasa. Hukum hanya jadi alat pemuas syahwati penguasa. Tangkap sana tangkap sini, terhadap pengkritik pemerintah. Hukum hanya alat untuk membungkam, suara-suara penuntut keadilan. Karena hukum telah mati. Kekuasaan monarkhi telah berubah menjadi ‘The King can do no wrong.’ Masyarakat jengah. Keadilan hanya bualan. Kaum bangsawan dan agamawan tak tersentuh. Kelas borjuis dan proletar bangkit melawan. Kaum baron Perancis mengkomandani. Revolusi meledak. Di Paris, revolusi berdarah terjadi.
Kaum pendukung nation state menggelora. Raja Louis XVI ditangkap. Kemudian digantung, setelah diadili beramai-ramai di Majelis rakyat. Robbiespierre mengkomandani revolusi. Di La Vendee, kota pinggiran Perancis, darah mengalir keras. Kaum bangsawan dan agamawan dihabisi. Mereka dipenggal, dimasukkan dalam guilitione. Inilah awal mula modern state.
Pra revolusi, kekuasaan dipegang agamawan dan bangsawan. Tapi kemudian terjadi banyak penyimpangan dan ketidakadilan. Kaum nation state mengkudeta. Pasca revolusi, pengikut nation state ganti memimpin. Seolah keadilan (egalite), bisa ditegakkan. Landasannya meninggalkan hukum Tuhan.
200 tahun kemudian, revolusi Perancis seolah menarik kembali. Karena keadilan makin buram. Dulu, Raja sering memainkan hukum, demi kepentingan kerabat dan koleganya. The king can do no wrong menjadi-jadi. Tapi pasca nation state membahana, Harold Laski, lawyer Inggris berbicara lantang. Dia menuliskan ‘Vindiciae Contra Tyrannos.’ Negara, katanya, telah berubah menjadi tirani. Egalite, liberte, fraternite, tak ada lagi. Hanya slogan ditempel didinding-dinding pengenang revolusi. Karena “state”, kata Laski, tak lagi menyuarakan kepentingan rakyat. Melainkan berubah menjadi tirani baru. Karena hukum ditegakkan dengan pandang bulu. Dar der dor sesuka hati. Ini persis sebelum meledaknya revolusi Perancis, di Paris itu. Ketika keadilan mati, ketika hukum digunakan demi ambisi syahwati, maka menyeruak perlawanan. Dan ini Sunatullah. Polybios pun mencatatkannya dalam bukunya. Ibnu Khaldun telah menceritakannya lengkap dalam Muqadimma. Ini hanya tinggal waktunya saja. Karena dibalik sebuah ketiranian, akan muncul perlawanan. Penentangan terhadap ambisi kekuasaan yang hanya berlandas syahwati. Bukan lagi berlandas rasio (filsafat), apalagi keadilan Tuhan.
Bahkan di Paris, Christopher Marlowe, telah memberikan pesan penting. Dramanya, ‘Masacre de Paris’ (Pembantaian di Paris), buah keculasan penguasa yang terlalu ambisi pada syahwatinya. Hingga membungkam keadilan. Ketika keadilan dibungkam, maka revolusi akan memulai. Ini salah satu jalan pergantian peradaban.
Baca Lebih Banyak Klik Link Dibawah
BACA JUGA TULISAN MENARIK LAINNYA, KLIK GAMBAR DIBAWAH INI
0 Comments
BIJAKLAH DALAM BERKOMENTAR